Bisnis.com, JAKARTA - Ketidakmampuan OECD dalam menciptakan konsesus terkait pemajakan ekonomi digital semakin menggerus potensi penerimaan pajak yang seharusnya diterima oleh negara-negara berkembang.
Dengan mengambil contoh kasus di India, Indonesia, Brasil, Bangladesh, Nigeria, dan 20 negara lainnya, penelitian terbaru Action Aid International memperkirakan bahwa potensi pajak yang tidak dibayar tiga korporasi digital yakni Facebook, Alphabet, dan Microsoft mencapai US$2,8 miliar.
"India, Indonesia, Brasil, Nigeria, dan Bangladesh adalah pasar yang dipelajari dengan 'tax gap' tertinggi dari ketiga perusahaan ini," demikian publikasi Action Aid Internasional yang dikutip, Jumat (30/10/2020).
Publikasi tersebut menjelaskan kurangnya informasi tentang berapa banyak pajak yang dibayar perusahaan-perusahaan ini di negara berkembang disebabkan belum adanya regulasi yang memaksa mereka untuk mengungkapkan informasi ini kepada publik.
Dunia, lanjut penelitian tersebut, sangat membutuhkan perjanjian pajak global untuk memastikan perusahaan global tersebut dikenakan pajak sesuai dengan keberadaan ekonomi riil mereka.
Publikasi itu juga menyerukan penerapan tarif minimum global pajak perusahaan untuk menyelesaikan masalah perusahaan multinasional yang menggunakan tax havens untuk menurunkan tagihan pajak mereka.
Baca Juga
Sayangnya, OECD terbukti tidak dapat memberikan kesepakatan pajak global. Menurut Action Aid, langkah baru yang dipimpin oleh PBB dapat menjadi solusi untuk memastikan negara-negara miskin memiliki kursi di meja dalam mengembangkan aturan pajak global.
Akses ini akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk berinvestasi dalam layanan publik.
"Pemerintah sangat membutuhkan uang ini untuk mendanai layanan publik seperti perawatan kesehatan dan perlindungan sosial bagi miliaran orang yang terkena pandemi Covid-19," jelasnya