Indonesia pernah mengalami dua kali krisis ekonomi yang dipengaruhi kondisi perlambatan global pada 1998 dan 2008.
Analisis komprehensif dan implementasi manajemen risiko yang tepat dibutuhkan agar tidak keliru dalam strategi penyelamatan ekonomi nasional. Kondisiekonomi 2020 memiliki kesamaan dan perbedaan dengan 1998 dan 2008.
Aspek perbedaan di antaranya penyebab krisis, fundamental ekonomi, dan strategi pemulihan serta aspek politik yang menyangkut kepercayaan pasar dan masyarakat.
Ketiga krisis ekonomi terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan BJ Habibie (1997-1998), Susilo Bambang Yudhoyono (2008), dan Joko Widodo (2020).
Faktor utama penyebab krisis 1998 adalah krisis keuangan regional Asia akibat utang masif swasta yang jatuh tempo. Terjadi rush money akibat ketidakpercayaan pasar dan dunia usaha.
Sejumlah indikator ekonomi menunjukkan kondisi memprihatinkan. Pertumbuhan PDB minus 13,7% yoy (PDB berkisar Rp955,63 triliun), rasio utang negara 57,7% terhadap PDB.
Krisis moneter malah berujung krisis politik dan kepercayaan. Kepercayaan
masyarakat, terutama mahasiswa, terhadap Soeharto berada pada titik nadir.
Sejumlah menteri Kabinet Pembangunan VII juga menyampaikan mosi tidak
percaya. Mundurnya sejumlah menteri bidang perekonomian memaksa Soeharto
lengser keprabon dan digantiBJ Habibie pada Mei 1998.
Strategi penyelamatan krisis 1998 melalui bail out dalam bentuk Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia terhadap 16 Bank senilai total Rp670 triliun hingga mereformasi UU kebebasan pers dan kebebasan HAM.
Soeharto dipaksa bertekuk lutut menandatangani Letter of Intent dengan IMF terkait pemberian paket bantuan (pinjaman) multilateral bertahap senilai US$43 miliar melalui Memorandum of Economic and Finance Policies.
Kondisi krisis ekonomi 1998 sangat buruk pada manajemen penanganan dan birokrasi yang sarat korupsi. Kurs rupiah terhadap dolar AS anjlok hingga 254% yoy dari level Rp3.030 (September 1997) ke level Rp10.725 (September 1998), bahkan menembus level Rp16.000. Tingkat inflasi 78,2% (Agustus 1998).
Faktor penyebab resesi global 2008 terletak pada kredit macet perumahan AS (subprime mortage crisis) dan meroketnya harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak per barel mencapai titik rekor tertinggi pada Juli 2008 (US$147,50 di London dan US$147,27 di New York). Kenaikan drastis harga
minyak mentah dunia berimplikasi serius terhadap beban APBN menanggung subsidi energi.
Berdasarkan data Kemenkeu RI, anggaran subsidi energi pada APBN-P 2008
benilai total Rp187,1 triliun (subsidi BBM Rp126,8 triliun dan listrik Rp60,3 triliun), atau melonjak 70,5% dari APBN 2007.
Secara ekonomi dan politik, menaikkan harga BBM bukanlah langkah yang
dipilih karena bisa memicu inflasi. Apalagi berdekatan dengan masa Pemilu 2009 di mana SBY kembali maju sebagai kandidat petahana.
Fundamental ekonomi Indonesia 2008 lebih baik dibandingkan dengan1998.
Pertumbuhan PDB mencapai 6,1% senilai Rp4.954 triliun, rasio utang negara 33% terhadap PDB, nilai tukar rupiah berkisar Rp9.036-Rp11.244
per dolar AS, dengan tingkat SBI berkisar 8,0%-9,5%.
KEPERCAYAAN PASAR
Tingkat kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap pemerintahaan SBY-Kalla
masih tinggi. Terbukti dengan SBY masih terpilih kembali pada Pemilu 2009.
Upaya menjaga daya beli masyarakat dan kestabilan kurs rupiah merupakan fokus utama menjaga kepercayaan pasar dan investor.
Krisis ekonomi 2020 disebabkan pandemi Covid-19. Dampak krisis bersifat multidimensional mencakup krisis kesehatan (banyaknya korban berjatuhan), krisis ekonomi (perlambatan bisnis dan investasi) sampai krisis politik (perbedaan tajam dan rivalitas di antara negaranegara dunia).
Masih terdapat sejumlah aspek positif untuk mendorong percepatan pemulihan.
Nilai PDB per Mei 2020 mencapai Rp16.386,94 triliun, rasio utang negara 32,09% terhadap PDB.
Nilai tukar rupiah relatif stabil pada level Rp 14.230-Rp 16.644 per dolar AS per Maret-Juni 2020, SBI pada level 4,0%-4,5% dan inflasi 3,2%-3,5%.
Tingkat kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap Jokowi-Amin masih terjaga.
Kemenkeu RI memproyeksikan pada akhir 2020 outlook pertumbuhan PDB Indonesia antara minus 1,1% sampai 0,2% yoy. Strategi pemulihan perlambatan ekonomi dilakukan dengan menjaga daya beli masyarakat serta stabilitas
nilai tukar rupiah.
Pemerintah masih akan menggelontorkan paket stimulus terkait pemulihan ekonomi nasional pada 2021 sebesar Rp356,5 triliun, menurun dibandingkan
dengan Rp695,2 triliun (2020).
Kebijakan itu sudah tepat terutama stimulus untuk pelaku usaha UMKM.
Pelajaran berharga setiap krisis adalah kesempatan melakukan pembenahan
manajemen risiko.
Evaluasi, inovasi dan memperkuat ketahanan menjadi kunci sukses pada resesi ekonomi 2020. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan wajib berjalan dalam satu koridor arah visi yang sama dalam upaya pemulihan ekonomi dan bisnis pascapandemi.