Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Cukai Alkohol, Makanan Manis dan Unhealthy Food Berpotensi Ikut Danai Program JKN

Hasbullah Thabrany, Penasihat Kebijakan ThinkWell Global sekaligus Pakar Health Economics and Health Financing yang juga salah satu penggagas JKN, mengungkap bahwa pajak dosa atau sin tax memang lazim digunakan sebagai pendanaan JKN.
Peserta BPJS antre di Kantor BPJS Kesehatan, Proklamasi, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Sebanyak lebih dari 40 ribu orang telah memanfaatkan fasilitas kelonggaran tunggakan iuran kepesertaan dan hanya diwajibkan membayar 6 bulan iuran untuk kembali mengaktifkan kepesertaan dari yang sebelumnya diwajibkan membayarkan 24 bulan. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Peserta BPJS antre di Kantor BPJS Kesehatan, Proklamasi, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Sebanyak lebih dari 40 ribu orang telah memanfaatkan fasilitas kelonggaran tunggakan iuran kepesertaan dan hanya diwajibkan membayar 6 bulan iuran untuk kembali mengaktifkan kepesertaan dari yang sebelumnya diwajibkan membayarkan 24 bulan. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Bisnis.com, JAKARTA - Penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) perlu terus mencari alternatif pendapatan di samping mengandalkan iuran peserta. Apalagi, BPJS Kesehatan yang menjadi pelaksana program tersebut selama ini selalu mengalami defisit keuangan dan baru pada akhir tahun ini diperkirakan akan mampu surplus.

Hasbullah Thabrany, Penasihat Kebijakan ThinkWell Global sekaligus Pakar Health Economics and Health Financing yang juga salah satu penggagas JKN, mengungkap bahwa pajak dosa atau sin tax memang lazim digunakan sebagai pendanaan JKN.

"Memang sin tax ini salah satu jalan keluar menekan defisit. Di luar negeri pun sudah banyak yang memberlakukan," katanya dalam diskusi virtual bertajuk 'Menjamin "Kesehatan" Jaminan Kesehatan Nasional' bersama SMERU Research Institute, Selasa (20/10/2020).

Apalagi, akta di lapangan menunjukkan bahwa defisit menahun program JKN beberapa tahun belakangan merupakan sebab pendapatan dari iuran yang under estimate dan telat naik. Hal ini membuat besar pasak daripada tiang alias pendapatan tak bisa mengimbangi expenditure. Di sisi lain, menaikkan iuran JKN menjadi beban politis pemerintah karena termasuk kebijakan nonpopulis.

Oleh sebab itu, menurut Hasbullah, alternatif pendanaan pun bisa menjadi salah satu jalan keluar di samping empat langkah lain yang juga harus berjalan beriringan agar program JKN bisa selalu sehat.

"Sosialisasi bahwa JKN ini upaya bersama harus terus. Iuran harus disesuaikan paling lama tiap dua tahun, baik persentase atau batas atasnya, juga bayaran ke fasilitas kesehatannya. Iuran PBU dan PBPI juga disesuaikan tiap dua tahun. Kalau masih kurang juga, hibah dari APBN, termasuk dana cukai atau lainnya," tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, Didik Kusnaini, Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian Keuangan membocorkan bahwa potensi sin tax sebagai bagian pendanaan alternatif program JKN memang tengah dikaji.

Selain masuknya 50 persen dari cukai rokok, alternatif strategi jangka panjang yang setidaknya memakan waktu dua tahun mendatang ini juga akan melibatkan beberapa opsi lain. Di antaranya masuknya cukai alkohol, cukai sugar sweetened beverages (SSB), dan cukai unhealthy food.

"Tapi seperti diketahui, penerapan kebijakan cukai seperti ini kan butuh persetujuan juga dengan parlemen. Jadi kita masukkan ke strategi jangka panjang," jelasnya.

Untuk optimalisasi pendanaan dari iuran, opsi jangka panjang ini juga mencakup review iuran, integrasi pungutan iuran dalam rekening listrik, evaluasi batas upah dan pelaporan upah, serta ikut meminta kontribusi pemerintah daerah. Sementara itu, untuk jangka pendek kurang dari dua tahun, optimalisasi iuran bisa dilaksanakan dengan ada sharing data dengan BPJamsostek, optimalisasi PPU, filantropi, CSR, atau crowdfunding.

Adapun dari segi opsi lain alternatif pendanaan, pemerintah masih mengkaji ikut masuknya pengalihan subsidi gas dan BBM, pengalihan subsidi listrik, dan penambahan jumlah tertentu per liter BBM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper