Bisnis.com, JAKARTA – Pengaturan tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) melalui Peraturan Pemerintah dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law diharapkan bisa menciptakan keseimbangan tarif yang baru.
Pengamat penerbangan Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soedjatman mengharapkan penetapan tarif oleh Peraturan Pemerintah (PP) dapat mengikuti ekuilibrium pasar sesuai dengan tingkat permintaan yang ada. Alhasil, TBB dapat disesuaikan ketika permintaan pasar melemah, sedangkan TBA diatur ketika permintaan tinggi karena melibatkan aspek yang lebih luas dari para pengambil kebijakan.
Menurutnya dengan penetapan dan keterlibatan pemerintah, bukan hanya kementerian teknis, bisnis penerbangan bisa tetap memberikan keuntungan ketika high demand dan tetap menjaga aksesibilitas yang tinggi bagi masyarakat ketika low demand.
“Selama ini persoalannya TBA ketinggian TBA kerendahan. Namun, kalau kemudian dijadikan alat untuk price suppression atau price hiking ya akan kembali mundurlah kita,” jelasnya, Kamis (15/10/2020).
Rencananya pemerintah mengatur TBA dan TBB penerbangan melalui Peraturan Pemerintah (PP) sesuai UU Cipta Kerja. Adapun, sebelumnya, pada UU No. 1/2009 tentang Penerbangan kedua tarif tersebut diatur oleh Kementerian Perhubungan.
Berdasarkan dokumen UU Cipta Kerja terdapat perubahan salah satunya pada pasal 130 yang berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis, serta sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Baca Juga
Sebelumnya, pada Pasal 130 UU No. 1/2009 tentang Penerbangan berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.