Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economics (Indef) Faisal Basri mengatakan penghambat utama investasi selama ini adalah korupsi dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien.
Oleh karena itu, tidak tepat jika pemerintah menyelesaikan masalah dengan Omnibus Law Cipta Kerja. Dengan landasan yang keliru, maka Omnibus Law dinilai tidak memiliki pijakan yang kuat.
"Yang paling membuat pening kepala para investor adalah korupsi dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien, sedangkan urusan ketenagakerjaan berada pada urutan kesebelas," katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (9/10/2020).
Dalam Executive Opinion Survey 2017, yang dikutip Faisal Basri, masalah korupsi memang berada di urutan pertama. Sementara itu, urusan ketenagakerjaan berada di urutan sebelas.
Faisal menjelaskan, kinerja investasi mengalami pertumbuhan yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir, bahkan tertinggi pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Namun, yang menjadi masalah adalah pertumbuhan investasi yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan hasil yang tinggi juga. Hal inilah yang menurut Faisal harus dicarikan obat mujarabnya.
Baca Juga
"Ibarat anak di usia pertumbuhan yang dapat asupan bergizi, tetapi mengapa berat badannya tidak naik? Boleh jadi banyak cacing di perut anak itu," tuturnya.
Faisal mengibaratkan cacing sebagai tindakan-tindakan korup yang menyedot darah dan energi perekonomian. Uang hasil korupsi dilarikan ke luar negeri dan atau digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif.
Cacing juga diibaratkan dengan praktik antipersaingan. Proyek-proyek besar diberikan ke BUMN, tak ada tender sehingga tidak terbentuk harga yang kompetitif.
Lebih lanjut, menurutnya cacing yang lebih berbahaya adalah para investor kelas kakap yang mendapatkan fasilitas istimewa karena hasil kedekatan dengan penguasa.
"Investasi mereka sangat besar, tetapi hampir segala kebutuhannya diimpor, puluhan ribu tenaga kerja dibawa dari negara asal dan tidak menggunakan visa kerja. Lalu disediakan bahan baku sangat murah karena diterapkan larangan ekspor sehingga pengusaha dalam negeri yang memasok investor asing itu menderita luar biasa," jelasnya.
Praktik-praktik ini akhirnya menyebabkan ICOR (incremental capital-output ratio) Indonesia sangat tinggi. Di era Jokowi ICOR mencapai 6,5, sedangkan sepanjang kurun waktu Orde Baru sampai era SBY reratanya hanya 4,3.
Artinya, kata Faisal, selama pemerintahan Jokowi-JK, untuk menghasilkan tambahan satu unit output, diperlukan tambahan modal 50 persen lebih banyak. Tambahan modal itu tak lain dan tak bukan adalah investasi. Tak hanya lebih parah dari periode-periode sebelumnya, ICOR Indonesia pun tercatat paling tinggi di Asean.
"Perangi saja terus korupsi, terutama di pusaran kekuasaan, dan segala bentuk pemborosan dengan menurunkan ICOR menjadi 4,7," kata Faisal.