Bisnis.com, JAKARTA - Omnibus Law Cipta Kerja terus mendapat pertentangan dari masyarakat, terutama kaum pekerja karena beberapa pasal dianggap tidak propekerja atau buruh, khususnya terkait dengan pesangon dari pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berdasarkan pasal 153 di dalam Omnibus Law, ada beberapa alasan pengusaha dilarang melakukan PHK kepada buruh.
“Dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan,” tulis ayat 1 huruf j yang dikutip Bisnis.com.
Apabila itu dilakukan, ayat 2 tertulis keputusan yang dilakukan batal demi hukum. Lalu pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.
Akan tetapi ada ketentuan buruh bisa di-PHK, yang tertuang dalam pasal sisipan dalam omnibus law, yaitu 154A.
“Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan,” tulis pasal 1 huruf l.
Baca Juga
Selain karena alasan tersebut, masih pada ayat yang sama buruh bisa di-PHK dengan alasan perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; melakukan efisiensi; tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian; dan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur).
Alasan lainnya yaitu perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, pailit, melakukan perbuatan yang merugikan pekerja, dan buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri.
Selanjutnya adalah pekerja mangkir; melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, ditahan pihak yang berwajib; memasuki usia pensiun; atau meninggal dunia.
“Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,” tulis ayat 2 pasal 154A.