Pemerintah telah berbuat banyak dengan kebijakan pre-emptive dan extraordinary-nya tetapi banyak pihak berpendapat bahwa kegagalan menjaga pertumbuhan ekonomi tak terlepas dari ketidakmampuan pemerintah mengeksekusi program yang telah direncanakan. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bernilai Rp695 triliun terealisasi tidak lebih dari sepertiganya. Padahal program tersebut diharapkan dapat menahan pelemahan ekonomi.
Namun belakangan ini justru yang banyak dibahas untuk dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) adalah sektor keuangan, bukan bagaimana percepatan eksekusi government spending yang menurut banyak kalangan adalah pangkal masalah.
Isu yang muncul adalah mengembalikan fungsi pengawasan bank ke Bank Indonesia (BI), melemahkan independesi BI dengan adanya Dewan moneter, dan kebijakan lain yang nampaknya ingin kembali seperti masa sebelum reformasi.
Keputusan mengeluarkan Perppu reformasi keuangan harus dipikirkan lebih hati-hati. Pertama, Perppu seharusnya dikeluarkan saat kondisi genting (memaksa) yang dapat mengancam keberlangsung perekonomian.
Jika tidak, Perppu itu akan bermasalah dan berdampak buruk bagi ekonomi domestik. Apalagi Perppu yang akan dikeluarkan terkait dengan regulator sektor keuangan, sehingga sangat sentisitif baik bagi pelaku pasar maupun regulator sektor keuangan itu sendiri (BI, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan).
Potensi tergerusnya kepercayaan investor bisa berdampak buruk yang berakibat pelarian modal, karena porsi investor asing dalam kepemilikan investasi portofolio masih dominan. Pada Surat Berharga Negara (SBN), asing memegang sekitar 30%. Pengaruh lanjutan dari capital flight biasanya terungkap dari depresiasi rupiah. Pada akhirnya juga akan memperburuk indikator makroekonomi seperti utang, credit default swap hingga risiko lainnya.
Bagi nasabah di sektor keuangan, keputusan yang terkait dengan regulator di sektor tersebut bisa saja mengurangi kepercayaan mereka terhadap perbankan maupun lembaga keuangan nonbank. Hal yang paling dikhawatirkan adalah penarikan dana dalam jumlah besar secara bersamaan (rush). Saat ini kita perlu menenangkan pasar agar pemulihan ekonomi bisa dipacu lebih cepat.
Kedua, kondisi sektor keuangan relatif kokoh dan stabil. Hal ini tidak terlepas dari langkah-langkah pre-emptive yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan, pemerintah maupun BI dalam menjaga stabilitas sektor keuangan dan sekaligus meringankan beban pelaku usaha sektor riil.
Ada pula langkah-langkah penguatan pijakan hukum yang dilakukan oleh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melalui Perppu No.1 Tahun 2020 sebagaimana disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020. Dalam regulasi itu telah diatur berbagai hal baik dari sisi penguatan fundamental sektor keuangan maupun aturan. Misalnya, mengharuskan peranan BI yang lebih besar dalam PEN lewat pembelian SBN di pasar pendana (primer).
BI pun berperan dalam menyediakan likuiditas bagi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam kerangka repurchase agreement (Repo) surat berharga. Dari sisi amanat UU No. 2 Tahun 2020 sebetulnya sudah cukup untuk menjadi pegangan bagi pemerintah dan stakeholders lainnya.
Persoalan yang dihadapi sektor keuangan saat ini adalah kepastian tentang kapan pandemi Covid-19 berakhir. Durasi ini menentukan kemampuan lembaga keuangan dalam bertahan. Saat ini di sektor perbankan masih menggunakan relaksasi yang diberikan melalui POJK 11/2020.
Demikian halnya dengan debitur bank yang diberikan relaksasi berupa restrukturisasi kredit. Dalam perjalanan kebijakan tersebut sampai dengan berakhirnya masa relaksasi kemungkinan akan ada bank yang tidak mampu bertahan atau lonjakan kredit bermasalah akan meningkat ketika masa relaksasi berakhir.
Alarm tersebut menunjukkan bahwa situasi yang dihadapi sektor rill dan sektor keuangan masih cukup kompleks. Salah satu langkah yang harus diambil adalah memperkuat peranan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Rekomendasi ini patut dieksekusi agar persoalan bank yang hampir gagal tidak merembet ke bank-bank lain, sehingga risiko sistemik yang mengancam sektor keuangan bisa diminimalisasi.
Dalam kaitan memperkuat peranan LPS, hal utamanya adalah memperluas wewenang, sehingga bukan hanya menangani resolusi bank saat bank tetapi dapat menangani bank pada saat, menurut pengawasan OJK, sudah dalam pengawasan intensif. Dalam hal ini LPS sudah dapat mulai melakukan resolusi, baik bagi bank sistemik maupun non sistemik melalui penempatan dana ke bank yang mengalami masalah likuiditas dan solvabilitas lebih awal.
Dengan menghidupkan kewenangan resolusi LPS lebih awal diharapkan proses penyelamatan bank akan lebih cepat dan mengurangi dampak kerugian yang lebih besar. Perluasan wewenang LPS lewat skema restrukturisasi dan resolusi bank yang tidak hanya dengan pertimbangan least cost akan memberikan keleluasaan baginya untuk memilih mekanisme penyehatan bank yang sejalan dengan kemampuan keuangannya.
Kompleksitas masalah yang muncul saat pandemi Covid-19 memang menyita energi dan memerlukan fokus dan kerja sama antara pemerintah dan regulator sektor keuangan. Perlu komunikasi intensif sebelum melakukan deregulasi. Melibatkan pelaku industri menjadi suatu keharusan agar tidak muncul kejutan yang berdampak buruk bagi bisnis mereka.
Polemik akan kehadiran Perppu Reformasi Keuangan harus segera diakhir, sehingga dapat menenangkan pelaku pasar dan pada gilirannya pemulihan ekonomi bisa segera dipacu