Bisnis.com, JAKARTA -- Kehadiran Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) sejatinya menguntungkan bagi perekonomian kedua negara, termasuk untuk industri pengolahan daging Tanah Air.
Meski demikian, pandemi Covid-19 dan berbedanya kebijakan kedua negara dalam menanggulangi wabah turut mengurangi efektivitas kesepakatan.
Wakil Ketua Umum Bidang Makanan Olahan dan Industri Peternakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Juan Permata Adoe mengemukakan industriawan dalam negeri sejatinya diuntungkan dengan tarif preferensi yang lebih rendah bagi produk asal Australia, termasuk untuk sapi bakalan.
Sayangnya, kebijakan pembatasan yang ketat selama wabah Covid-19 menyebabkan aktivitas ekonomi di negara tersebut menjadi terbatas.
“Hal ini turut berimbas ke aktivitas ekspor mereka. Efeknya eksportir di sana harus menanggung biaya yang jauh lebih tinggi,” kata Juan kepada Bisnis, Selasa (8/9/2020).
Juan menyebutkan kondisi ini turut memengaruhi daya saing daging impor asal Australia yang kini harus bersaing dengan daging dari berbagai negara seperti Brasil dan Spanyol. Kehadiran impor daging kerbau pun turut memengaruhi.
Baca Juga
Di sisi lain, Indonesia dengan kebijakan pembatasan yang lebih longgar justru harus menghadapi permasalahan daya beli yang turun karena banyak pekerja yang dirumahkan atau menjadi korban pemutusan hubungan kerja.
Menurut Juan, kondisi ini tak banyak menguntungkan pasar daging sapi mengingat statusnya sebagai protein yang cenderung mahal. Volume penjualan daging sapi secara umum disebutnya mengalami penurunan.
“Bahkan untuk permintaan daging kerbau yang paling murah juga turun. Efeknya apa? Harga daging kerbau di pasaran juga terus turun. Dari kuota 170.000 ton, yang terealisasi impornya masih sangat kecil,” papar Juan.
Melihat perkembangan ke depan, Juan menilai perdagangan daging sapi ke depannya bakal amat tergantung pada siasat masing-masing negara. Dari sisi pasokan, dia menilai Australia perlu menciptakan terobosan agar produknya bisa bersaing.
Sementara di Tanah Air, berbagai stimulus dan insentif diharapkan bisa menjadi kunci kenaikan daya beli.
“Yang menarik adalah, Australia sudah mengalami resesi. Mereka perlu meningkatkan ekspor dan salah satu caranya adalah dengan membuat produk mereka lebih kompetitif di negara tujuan,” ungkap Juan.
Sementara itu, pelaku usaha kafe dan restoran membenarkan bahwa permintaan daging sapi mengalami kontraksi akibat masih terbatasnya aktivitas usaha dan penurunan daya beli.
Meski pusat perbelanjaan telah kembali dibuka di banyak kota besar, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Eddy Sutanto mengemukakan bahwa kondisi itu belum banyak memacu permintaan.
“Permintaan belum normal dari kami karena operasional mal masih terbatas. Di banyak daerah waktu tutup dipercepat menjadi pukul 8 malam. Masyarakat pun masih berhati-hati berkunjung ke restoran,” ujar Eddy saat dihubungi, Selasa (8/9/2020).
Dia pun mengatakan bahwa harga daging dari distributor cenderung terjaga. Dalam beberapa kali kesempatan, pemasok bahkan menawarkan harga yang lebih kompetitif agar terserap.
Serapan daging sapi impor dari restoran sendiri disebut Eddy tak bisa banyak mendongkrak karena masyarakat lebih banyak membeli bahan baku untuk diolah sendiri.