Bisnis.com, JAKARTA - Cadangan devisa Indonesia mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah dalam dua bulan berturut-turu, Juli dan Agustus 2020.
Kendati demikian, performa tersebut tidak diikuti dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang cemerlang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2020 mengalami kontraksi sebesar minus 5,32 persen year on year (yoy).
Kontraksi ini dipicu oleh konsumsi rumah tangga yang memiliki porsi 57,85 persen dari PDB tumbuh minus 5,51 persen dan Pembentukan Modal tetap Bruto (PMTB) atau investasi yang memiliki porsi 30,61 persen dari PDB juga tercatat minus 8,61 persen.
Sementara itu, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2020 sebesar US$137 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi akhir Juli 2020 sebesar US$135,1 miliar.
Peningkatan cadangan devisa pada Agustus 2020 antara lain dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, serta penerimaan pajak dan devisa migas.
Baca Juga
Dengan demikian, penarikan pinjaman luar negeri pemerintah masih menjadi penggerek kenaikan cadangan devisa.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira melihat kenaikan utang luar negeri (ULN) pemerintah secara tahunan tidak berbanding dengan pertumbuhan serapan anggaran.
ULN pemerintah pada kuartal ke dua tumbuh 2.1 persen sementara pertumbuhan pengeluaran pemerintah minus 6.9% di periode yang sama.
"Jadi dari utang valas tidak langsung dibelanjakan sehingga konversi ke rupiahnya pun terbatas," ujar Bhima, Senin (7/9/2020).
Hal ini yang membuat cadangan devisa pemerintah gendut. Namun, dia melihat gemuknya cadangan devisa bersifat temporer.
"Pada november dimana target serapan belanja didorong full sepertinya baru akan ada impact ke cadangan devisa."
Namun, dia melihat volatilitas di pasar keuangan meningkat karena adanya pemilu AS. Kondisi ini, menurut Bhima, bisa mempengaruhi pertimbangan investor untuk membeli surat utang negara berkembang.