Bisnis.com, JAKARTA — PT PLN (Persero) telah mengajukan draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2020—2029 kepada Kementerian ESDM. Apa tanggapan pengamat berkaitan dengan hal itu?
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa berharap dalam RUPTL baru tersebut pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) dapat diutamakan.
Menurutnya, paradigma pembangkit termal merupakan pembangkit paling andal dan murah perlu ditinjau ulang sebab harga EBT sekarang ini sudah semakin turun.
"Harusnya PLN punya confident untuk membangun EBT skala besar-besaran. Apalagi ada target capai 23 persen pada 2025. Untuk capai target EBT 23 persen harus dibangun paling tidak 4.000 megawatt tiap tahun dengan tingkat pertumbuhan listrik kira-kira 5 persen," katanya ketika dihubungi Bisnis, Rabu (2/9/2020).
Menurut kajian lembaganya, kata Fabby, setelah 2028, membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan baterai penyimpanan akan lebih kompetitif dibandingkan dengan membangun PLTU (uap) baru.
Jika pembangunan PLTU baru terus dilakukan, biaya produksi listrik ke depan diperkirakan menjadi mahal. Apalagi tren pembiayaan global untuk proyek-proyek PLTU kini juga makin sulit karena hal ini nantinya akan membuat investasi pembangunan PLTU juga makin mahal.
Baca Juga
"Revisi RUPTL bisa jadi kesempatan PLN untuk melakukan transformasi dalam perencanaan penyediaan listriknya. Selama ini termal-termal terus. Arahnya saya lihat PLN ini diposisikan sebagai offtaker tidak hanya listrik, tapi juga batu bara, sedangkan pemerintah punya target produksi batu bara terus naik yang disuruh serap PLN," ujar Fabby.
Adapun, untuk mengejar target bauran EBT 23 persen, Fabby menilai pembangunan PLTS skala besar perlu digenjot.
Menurutnya, PLTS merupakan pembangkit yang mudah dan cepat untuk dieksekusi karena waktu pembangunannya hanya perlu waktu sekitar 2 tahun—3 tahun.
Target bauran EBT 23 persen pada 2025, kata Fabby, sangat mungkin dicapai bila terdapat komitmen politik yang kuat, regulasi yang mendukung, serta kebijakan yang tidak ambigu.
"Vietnam saja dalam 2 tahun bisa bangun 6.000 MW untuk PLTS. Kuncinya di keputusan politik. Kebijakan juga jangan ambigu mau naikkan EBT, tapi PLTU juga naik," kata Fabby.