Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Sunarsip

Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence

Sunarsip adalah ekonom senior The Indonesia Economic Intelligence. Lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) 2000 ini meraih gelar Magister Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2006.

Lihat artikel saya lainnya

Tren Bisnis Migas di Tengah Penurunan Harga Minyak

Bagi korporasi migas yang memiliki diversifikasi bisnis ke downstream dalam pangsa yang lebih besar, pelemahan harga minyak mentah justru menjadi peluang untuk menurunkan biaya produksi pengadaan (BPP) BBM karena biaya bahan baku yang lebih murah.
Boncos Semua! Pertamina, Shell, Exxonmobil, Total dan BP merugi
Boncos Semua! Pertamina, Shell, Exxonmobil, Total dan BP merugi

Belum lama ini Pertamina mengumumkan kinerjanya selama semester I/2020 yang membukukan kerugian US$767,92 juta atau sekitar Rp11 triliun. Dalam pandangan saya, berita kerugian ini tidak terlalu mengejutkan bila kita melihat pula kinerja korporasi di industri minyak dan gas bumi (migas) lainnya di dunia.

Sebagian besar korporasi migas mengalami penurunan kinerja cukup dratis. Bahkan banyak yang mengalami kerugian.

BP yang merupakan salah satu ‘big oil’ membukukan kerugian fantastis, sebesar US$21,2 miliar. Repsol, Chevron, dan ExxonMobil masing-masing membukukan kerugian 2,5 miliar euro, US$8,27 miliar dan US$1,1 miliar. Saudi Aramco meski tidak merugi tetapi kinerjanya turun dratis. Pada semester I/2020 Aramco memperoleh laba US$23,2 miliar, turun 50,53% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$46,9 miliar.

Di tengah pandemik Covid-19, korporasi migas global menghadapi tekanan berat akibat melemahnya permintaan, penurunan harga minyak mentah (crude), dan melemahnya nilai tukar mata uang terhadap dolar AS. Harga crude turun sekitar 50%, berada di kisaran US$30-US40 per barel, bahkan pernah di bawah US$20 per barel untuk crude jenis Brent dan negatif untuk WTI.

Menurunnya harga crude dipicu oleh pasokan berlebih. Laporan International Energy Agency (IEA) menyatakan kebutuhan minyak pada 2020 akan mengalami penurunan sebesar 8,1 juta barel per hari dibandingkan dengan 2019 dengan pelemahan terbesar terjadi pada April sebesar 21 juta barel per hari.

Rendahnya harga crude jelas memukul kinerja korporasi migas, terutama dari sisi bisnis hulunya (upstream). Kontribusi laba Exxon, Chevron, dan Petronas dari bisnis hulunya selama 10 tahun terakhir masing-masing sebesar 70,7%, 81,5% dan 68,9% (Rystad Energy, 2020). Makin tinggi ketergantungan pada bisnis hulu maka kinerja korporasi migas akan kian tertekan bila harga crude menurun.

Sebaliknya, bagi korporasi migas yang memiliki diversifikasi bisnis ke downstream dalam pangsa yang lebih besar, pelemahan harga crude menjadi peluang untuk menurunkan biaya produksi pengadaan (BPP) BBM karena biaya bahan baku yang lebih murah.

Lalu bagaimana dengan faktor di balik kerugian Pertamina? Kontributor pendapatan (revenue) terbesar Pertamina berasal dari bisnis kilang (refinery) dan pemasaran (downstream). Pada 2019, bisnis refinery dan downstream menyumbang pendapatan US$44,06 miliar atau 80,73% dari total pendapatan US$54,58 miliar. Bisnis hulunya menyumbang pendapatan US$6,41 miliar atau sekitar 11,74% dari total pendapatan 2019.

Meskipun refinery dan downstream menjadi kontributor pendapatan terbesar, kontribusinya terhadap laba ternyata negatif (merugi). Kenapa? Pertama, BPP kilang Pertamina relatif masih kalah kompetitif dibandingkan dengan kilang milik korporasi negara lain.

Salah satu penyebabnya, selain karena harga bahan baku (crude), Pertamina terlambat dalam memperbarui (upgrade) kilang-kilangnya. Setelah kilang Balongan beroperasi pada 1995, Pertamina tidak pernah lagi membangun kilang baru untuk menambah kapasitas sekaligus meningkatkan kompleksitas produk kilang.

Kedua, dari sisi penjualan produk terutama BBM, Pertamina masih menghadapi hambatan terkait dengan keleluasaannya dalam menetapkan harga produk nonsubsidi. Akibatnya, BUMN itu sering mengalami kerugian dari sisi penjualan produk ritel akibat harga jual yang dibawah BPP. Di tengah kondisi pandemi sekarang ini, Pertamina menghadapi rendahnya demand.

Sejauh ini laba Pertamina masih ditopang bisnis hulunya. Pada 2019 bisnis hulu menyumbangkan laba US$5,13 miliar, di tengah bisnis refinery dan downstream yang merugi. Sayangnya pada 2020, kinerja bisnis hulu juga merosot. Rendahnya harga crude menyebabkan banyak aset hulu kurang kompetitif akibat biaya produksi per unitnya yang sudah tinggi. Ujungnya menyebabkan kemerosotan kinerja selama semester I/2020.

Bila merujuk data kinerja dalam beberapa dekade terakhir, ada kecenderungan bahwa era kejayaan korporasi migas telah meredup. Hal ini terlihat dari mulai menurunnya kemampuan korporasi dalam menghasilkan pengembalian investasi bagi pemegang sahamnya (annual returns to shareholders/ARTS). Studi Mckinsey pada Mei 2020 lalu menyebutkan pada 1990—2005, korporasi migas kecuali refining and marketing mampu menghasilkan ARTS di atas ARTS korporasi dalam kelompok S&P 500.

Namun pada 2005-2019 praktis tidak ada satupun korporasi migas mampu menghasilkan ARTS di atas kelompok S&P 500. Penyebab utamanya adalah harga crude yang kian menurun, mendekati breakeven oil price (BEOP). Alhasil, kini berbagai korporasi migas global mulai melakukan modifikasi model bisnisnya dengan merambah ke supply chain bisnis migas lainnya, mulai dari upstream, midstream, downstream, bahkan trading. Tujuannya memaksimalkan margin.

Langkah integrasi ini dapat memberi perlindungan terhadap pendapatan korporasi dari volatilitas harga crude. Hal ini antara lain dilakukan Exxon, Chevron, BP, dan Aramco dengan menggandeng mitra di Asia untuk membangun kilang-kilang pengolahan guna memaksimalkan nilai dari crude yang dihasilkan. Asia merupakan pasar konsumen migas terbesar di dunia.

Tren global ini perlu ditangkap sebagai peluang oleh Pertamina. Kedudukan Pertamina sebagai integrated oil company seharusnya menjadi nilai yang harus dimaksimalkan untuk menarik mitra strategis guna mengembangkan investasinya di tengah keterbatasan finansial.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sunarsip
Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper