Bisnis.com, JAKARTA -- Sejumlah isu perlindungan konsumen mengemuka di tengah pandemi dan menyedot perhatian khalayak. Sejumlah kasus bahkan mendorong adanya perubahan regulasi agar dapat mengakomodasi perubahan yang timbul.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) Tulus Abadi mencatat setidaknya ada tujuh isu aktual yang berkembang sejak wabah Covid-19 masuk ke Indonesia. Isu ini bervariasi mulai dari pemakaian jasa kesehatan sampai layanan jasa transportasi.
Isu alat kesehatan dan produk farmasi yang mengalami kenaikan harga dan pasokan yang langka pada awal pandemi menjadi salah satu hal yang menyedot perhatian konsumen. Tulus mengemukakan kondisi tersebut turut dipicu oleh adanya penimbunan.
“Kami duga hal itu disebabkan oleh penimbunan oleh oknum tertentu. Saat kami laporkan Mendag sebenarnya disebutkan pula bahwa stok sebenarnya cukup,” kata Tulus dalam webinar 'Perlindungan Konsumen di Masa Pandemi', Kamis (3/9/2020)..
Selain itu, kenaikan harga yang tidak terkendali disebut Tulus terjadi lantaran aturan soal perdagangan belum menjangkau pengendalian harga pada produk-produk kesehatan tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 7/2014 tentang Perdagangan, tata niaga dan stabilitas harga produk kesehatan tidak diatur.
“Kalau konteks masker tidak masuk dalam kategori tersebut. Tapi dalam situasi seperti ini produk tersebut menjadi strategis dan penting. Mungkin perlu ada upaya redefinisi untuk menyesuaikan situasi pandemi,” lanjut Tulus.
Baca Juga
Isu kedua yang mengemuka adalah soal relaksasi pada jasa finansial. Menurutnya, banyak nasabah yang melaporkan kesulitan dalam pengajuan restrukturisasi kredit meski Presiden Joko Widodo telah mengumumkan bahwa pihak-pihak yang terimbas Covid-19 berhak mendapat relaksasi.
Nyatanya, konsumen di lapangan kerap melaporkan bahwa pemberi pinjaman menolak permohonan tersebut dan memberikan syarat yang sulit dipenuhi.
“Kami akhirnya meminta Otoritas Jasa Keuangan, perbankan, dan operator transportasi online untuk membuat kriteria yang jelas dan transparan,” sambungnya.
Isu perlindungan konsumen juga datang dari kasus refund tiket yang melibatkan para pelanggan yang telah melakukan pemesanan tiket pesawat maupun hotel namun tak bisa menikmati layanan lantaran terdapat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membatasi aktivitas dan perjalanan masyarakat.
Dalam hal ini, Tulus menyebutkan banyak konsumen yang memilih untuk membatalkan pesanan dan terjebak dalam proses yang panjang sampai uang mereka diganti oleh penyedia jasa.
“Pada akhirnya sejumlah perusahaan yang mengalami tekanan akibat pandemi memberi refund dalam bentuk voucher atau penjadwalan ulang karena kesulitan mengganti, padahal konsumen meminta ganti rugi dalam bentuk uang tunai. Kami kemudian meminta Kemenhub untuk memediasi kedua pihak,” lanjut Tulus.
Permasalahan lonjakan tagihan listrik yang belum lama ini mengemuka menjadi isu lain yang dipantau oleh YLKI di mana konsumen melaporkan adanya kenaikan tagihan lebih dari 300 persen. Pihak PLN sebelumnya menyebutkan bahwa lonjakan tersebut disebabkan oleh meningkatnya penggunaan listrik seiring dengan banyaknya warga yang bekerja dari rumah.
“Kami sudah melakukan diskusi grup bersama PLN dan 70 persen kenaikan memang disebabkan oleh meningkatnya penggunaan. Tapi ditemukan pula kondisi ketika ada kesalahan dalam pendataan,” terang Tulus.
Upaya advokasi lantas dilakukan YLKI dengan mendesak PLN untuk melakukan audit dan melakukan tera ulang kilowatt hour (KWh) meter.
Meningkatnya aktivitas dalam jaringan (online) selama pandemi turut memicu munculnya isu perlindungan konsumen dalam penggunaan jasa internet.
Tulus menyebutkan laporan yang kerap muncul adalah soal tak meratanya akses dan permasalahan diskoneksi. Selain itu, biaya internet pun juga memunculkan keluhan, terutama dari keluarga miskin yang daya belinya terbatas.
“Keluarga miskin setidaknya harus merogoh kocek sampai Rp400.000 untuk bisa menggunakan jasa internet. Untuk itu kami meminta operator dan regulator untuk memberikan subsidi pulsa, penambahan BTS, dan mendesak Kemendikbud agar kegiatan pengajaran jarak jauh tak harus secara online,” papar dia.
Terakhir, dua isu kesehatan berkaitan dengan pandemi Covid-19 yang kerap menjadi perhatian adalah soal komersialisasi dan efektivitas rapid test serta soal klaim kesembuhan obat Covid-19.
Biaya rapid test sebelumnya cukup bervariasi dan terbilang mahal. Tes ini pun menjadi salah satu syarat bagi masyarakat sebelum melakukan perjalanan dengan transportasi umum sehingga memicu terjadinya komersialisasi.
“Kami lalu mendesak untuk penetapan HET rapid test dan menghilangkannya sebagai prasyarat. Sejauh ini tak ada bukti bahwa rapid test efektif untuk mencegah penyebaran Covid-19,” lanjutnya.
Adapun untuk klaim obat penyembuh Covid-19, Tulus mengemukakan hal tersebut muncul karena banyak produsen yang memanfaatkan kepanikan warga.
Dia pun kembali menegaskan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyebutkan bahwa sampai saat ini berbagai obat yang diklaim dapat menyembuhkan Covid-19 sebenarnya hanya berfungsi sebagai penambah imunitas tubuh.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E. Halim mengatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) telah mengimbau otoritas perlindungan konsumen untuk memperketat pemantauan pasar digital dan memerangi praktik-praktik yang tidak jujur dan menyesatkan.
Adapun praktik tidak jujur yang timbul mencakup kenaikan harga tak wajar, klaim produk yang berkhasiat mengobati Covid-19, dan informasi produk yang menyesatkan.
“New normal menjadi peluang sekaligus ancaman terhadap upaya perlindungan konsumen. Menjadi ancaman karena kebiasaan baru dalam konsumsi memerlukan sistem perlindungan dengan level keamanan yang tinggi,” kata Rizal.