Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri TPT Minta Pembenahan Kinerja Pelabuhan

Pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meminta pemerintah serius melakukan pembenahan kinerja di pelabuhan kaitannya dengan barang impor TPT yang terus menggerus pangsa pasar produsen lokal.
Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen. Kebijakan perdagangan yang pro produksi dalam negeri harus segera diimplementasikan. /ANTARA
Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen. Kebijakan perdagangan yang pro produksi dalam negeri harus segera diimplementasikan. /ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meminta pemerintah serius melakukan pembenahan kinerja di pelabuhan kaitannya dengan barang impor TPT yang terus menggerus pangsa pasar produsen lokal.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan saat ini daya saing industri TPT hanya cukup untuk menjaga kinerja ekspor tetapi belum cukup untuk mendorong pertumbuhnnya. Bahkan, data BPS saat ini menunjukkan kinerja perdagangan TPT negatif akibat impor yang naik.

"Kebijakan yang pro barang impor telah mengakibatkan pangsa pasar produk lokal tergerus ditambah adanya praktik unprosedural di pelabuhan," katanya dalam webinar bertema Penyelamatan Industri TPT, Rabu (26/8/2020).

Redma mengemukakan praktik impor unprosedural mencakup masuk borongan, under-volume, under-price, pelarian HS, pemalsuan COO, dan lainnya. Untuk itu diperlukan pembenahan kinerja di pelabuhan agar menghindari praktik tersebut.

Sementara kebijakan perdagangan yang pro produksi dalam negeri agar dapat menguasai pasar domestik juga harus segera diimplementasikan. Pasalnya, dengan daya saing yang meningkat maka pertumbuhan ekspor akan tercapai.

"Saat ini pertumbuhan impor kain yang tidak diimbangi ekspor garmen telah merusak industri kain, benang, dan serat," ujar Redma.

Sebelumnya, Redma mencatat berdasarkan hitungan perbandingan supply-demand di pasar domestik, estimasi importasi tidak sesuai prosedur ini mencapai 331.000 ton, sekitar 16.000-an kontainer.

“Per bulan masuk sekitar 1.300 kontainer, kira-kira senilai Rp2,3 triliun yang pajak dan bea masuknya pasti tidak masuk kas negara," katanya. Hal itu belum termasuk kasus perpajakan setelah masuk pasar, karena barang-barang impor yang masuk dijual di pasar domestik tanpa menggunakan faktur resmi.

Menurutnya, barang impor saat ini seperti dijual putus, yakni peritel atau konveksi jika membeli barang impor tidak perlu pakai faktur sedangkan jika membeli dari produsen lokal harus menggunakan faktur sesuai aturan perpajakan.

Untuk itu APSyFI meminta agar petugas pajak menindaklanjuti kasus importasi unprosedural ini ke ranah kasus perpajakan.

APSyFI pun menyoroti kerugian yang harus ditanggung banyak pihak, mulai dari kerugian pemasukan penerimaan pajak dan bea masuk, kerugian yang harus ditanggung oleh pihak pengusaha, hingga kerugian yang harus ditanggung oleh pihak pekerja hingga terjadi beberapa kasus PHK.

"Industri TPT ini multiple ekonominya sangat kompleks yang melibatkan jutaan pekerja langsung dan tidak langsung, puluhan link bisnis sektor lain yang menyumbang puluhan triliun pendapatan negara dari sektor fiskal," kata Redma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper