Bisnis.com, JAKARTA - Badan Usaha Angkutan Multimoda (BUAM) meminta agar pemanfaatan ekosistem logistik nasional (NLE) dapat menjawab segala permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha logistik yang berujung pada turunnya biaya logistik.
Ketua Indonesian Multimodal Transport Association (IMTA) Siti Ariyanti menghadapi sejumlah masalah terkait aktivitas logistik yang selama ini dilakukan oleh para pengusaha BUAM. Permasalahan-permasalahan ini diharapkan dapat diselesaikan dengan keberadaan NLE yang disiapkan oleh pemerintah.
"NLE ini harus bisa diterapkan di seluruh Indonesia, kelemahan pelaku logistik ini pola pikir di kota besar, Jakarta, Surabaya, Medan, background pendidikan cukup, tetapi konsep seluruh indonesia, ini yang harus diperbaiki karena tidak semua merata," paparnya, Senin (17/8/2020).
Lebih lanjut dia memerinci sejumlah masalah yang harus dapat dijawab dengan keberadaan NLE yakni duplikasi dan repetisi, tingkat penerapan otomasi, kebijakan yang terpisah, inefisiensi distribusi barang, dan belum adanya platform logistik dari hulu ke hilir.
Dia mencontohkan duplikasi dan repetisi terjadi ketika Agen Pelayaran menyerahkan Manifest Barang ke Syahbandar dan Operator Pelabuhan (SIMLALA), Karantina Pertanian (Manual) dan Bea Cukai (CEISA), sementara beberapa KL yang memerlukan saat ini belum mendapatkan manifest.
Selain itu, terjadi perbedaan tingkat penerapan otomasi. Beberapa K/L sudah menerapkan otomasi penuh/online (Bea Cukai, BPOM), beberapa K/L menerapkan semi otomasi/online (gabungan manual dan otomasi/online) (SIMLALA), beberapa K/L dan entitas logistik bahkan belum menerapkan otomasi/online (manual) (pemesanan container di perusahaan Depo Kontainer di Tanjung Priok).
Baca Juga
Kebijakan terpisah-pisah terjadi, karena kebanyakan sistem yang dikembangkan oleh K/L (18) masih berdiri sendiri (belum terhubung) Dari 18 K/L yang ada, saat ini hanya empat yang menggunakan rujukan (profil) bersama. Alhasil, perlakuan antara satu dengan K/L lainnya bisa berbeda sangat ekstrim.
Sementara itu, inefisiensi terjadi ketika sulitnya importir mencari ketersediaan truk kontainer setelah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang karena antara sistem informasi truk dengan sistem informasi K/L belum terhubung.
Kemudian, belum sinkronnya informasi tentang ketersediaan & kebutuhan alat angkut, menyebabkan tingginya idle capacity alat angkut, biaya broker, dan pengenaan tarif yang tidak transparan.
"Belum ada platform logistik dari hulu ke hilir membuat sulitnya para pelaku logistik untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang keberadaan muatan atau ketersediaan truk/gudang," katanya.
Para importir juga kesulitan untuk mendapatkan transparansi harga sewa gudang dan biaya angkut truk dan sulitnya para importir mengetahui status pengurusan dokumen dan keberadaan barangnya secara real time.