Bisnis.com, JAKARTA - Setiap presiden punya mimpi dan caranya sendiri untuk mewujudkan kemandirian ekonomi. Keberagaman sayangnya tidak diikuti oleh fokus yang terarah untuk mewujudkan kemandirian ekonomi.
Sukarno yang kekuasaannya tumbuh ketika semangat antikolonialisme membakar bangsa Indonesia menempatkan setiap kebijakan baik politik, sosial, dan ekonomi pada waktu itu untuk 'mengganyang' neo kolonialisme dan imperialisme atau nekolim.
Salah satu konsep ekonomi yang lahir era Sukarno adalah ekonomi berdikari. Berdikari lahir dari upaya Sukarno melawan hegemoni politik kolonial yang merkantilis dan imperialistik.
Namun, kata Sukarno, berdikari sama sekali tidak anti kerja sama internasional, justru menurutnya kebijakan ini sangat terbuka bagi dunia internasional, terutama semua negara yang baru merdeka.
"Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling menguntungkan!,' begitu kata Sukarno dalam naskah Pidato Nawaksara yang disampaikan di Sidang Umum MPRS tanggal 16 Juni 1966.
Sayangnya, ekonomi berdikari yang digaung-gaungkan Sukarno tak mampu berjalan mulus. Pasalnya, ketimbang merealisasikan mimpinya, Sukarno justru sibuk menaikkan gengsi di level internasional dengan membangun monumen dan proyek-proyek mercusuar.
Alhasil, kas negara kosong. Bank sentral waktu itu sampai-sampai harus mencetak duit untuk menopang gengsi orde lama. Kebijakan ini kelak menjadi bumerang, karena inflasi meroket lebih dari 635 persen. Puncaknya, kinerja ekonomi Sukarno yang jeblok merembet ke persoalan politik. Sukarno akhirnya lengser digantikan Soeharto.
Meski demikian, politik berdikari ala Sukarno juga meninggalkan warisan yang bisa diacungi jempol. Keberadaan PT Berdikari (Persero) hingga PT Krakatau Steel yang lahir dari proyek baja Trikora, tak bisa dilepaskan dari mimpi-mimpi Sukarno untuk memperoleh kedaulatan ekonomi yang berdiri di atas kaki sendiri.
Transisi Kekuasaan
Entah sudah direncanakan atau secara kebutulan, kemunculan sosok Soeharto bisa dibilang tepat. Dia muncul ketika pengaruh Sukarno secara politik mulai merosot. Dalam pandangan mesianistik, Soeharto bisa diposisikan oleh pendukungnya sebagai ratu adil, sang juru selamat dari kemelut sosial, ekonomi, dan politik waktu itu.
Ada perbedaan orientasi yang mencolok antara rezim Sukarno dan Soeharto. Jika era Sukarno, politik sebagai panglima. Pada zaman Orde Baru atau rezim daripadanya Soeharto, perbaikan dan pembaruan orientasi ekonomi mulai menjadi fokus utama.
Untuk melakukan tugas besar itu, tentu Soeharto tidak sendiri. Dia didukung oleh orang-orang yang ‘mumpuni’. Selain tokoh intelijen, penggagas pondasi pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo, dibelakang cah Kemusuk itu juga ada kalangan ekonom lulusan Berkeley, Amerika Serikat.
David Ransom, aktivis dan penulis kiri asal Amerika Serikat dalam buku The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre menjuluki kelompok ekonom ini dengan istilah 'Mafia Bekeley'. Dalam sejarah ekonomi Indonesia, 'Mafia Berkeley' salah satu tokohnya adalah Widjojo Nitisastro dkk. punya peran penting.
Bahkan hingga anak cucu didiknya, mereka adalah arsitek utama perekonomian dari zaman Orde Baru hingga periode Joko Widodo.
Salah satu pengaruh sekaligus warisan kelompok Berkeley dalam kebijakan Orde Baru adalah mulai terbukanya keran investasi asing dan pembangunan yang lebih terstruktur. Jika di era Sukarno ada Rencana Ekonomi Perdjoeangan, di era Soeharto mengenal istilah Rencana Pembangunan Lima Tahun atau repelita.
Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66 dalam tulisan yang diterbitkan sebuah surat kabar pada 16 Juli 1969 menaruh harapan besar pada rencana Soeharto dengan repelitanya.
Dia menulis, melalui rencana itu, Soeharto punya cita-cita yang tak kalah besar (dari Sukarno) yakni supaya masyarakat desa bisa hidup lebih layak. "Tahun ini adalah tahun pertama pembangunan lima tahun, tapi kesan saya masyarakat masih acuh terhadap rencana besar ini," tulis Gie.
Adapun, Soeharto dalam setiap kesempatan selalu menekankan bahwa repelita merupakan acuan sekaligus pegangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.
"Sehingga akhirnya nanti sesudah melampaui kesekian banyak repelita kita tiba pada tujuan akhir yang kita cita-citakan: masyarakat maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila," ucap Soeharto dalan pidato kenegaraan di DPR pada tahun 1972.