Bisnis.com, JAKARTA - Realisasi pertumbuhan semester I/2020 dan prognosa produksi 2020 industri tektil dan produk tekstil (TPT) konsisten berada di zona merah. Namun demikian, industriawan optimistis pemicu resesi yang diramalkan terjadi tahun ini bukan berasal dari industri TPT.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lapangan usaha industri tekstil dan pakaian jadi terkontraksi sebesar 1,24 persen secara tahunan pada kuartal I/2020. Adapun, angka tersebut berakselerasi menjadi 14,23 persen secara tahunan pada kuartal II/2020.
Di samping itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memprognosa pertumbuhan industri TPT akan terkontraksi sekitar 1 persen pada akhri tahun. Hal tersebut disebabkan oleh hilangnya permintaan di kuartal II/2020 yang notabenenya terdapat pasar lebara.
Senada, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memprognosis pertumbuhan industri TPT pada paruh kedua 2020 akan melandai namun sedikit naik pada akhir tahun. Namun demikian, prognosa tersebut sangat tergantung dari sektor manufaktur lain.
"Mudah-mudahan ini tidak ada revisi. [Namun] sepertinya berat sampai akhr tahun ini untuk bisa di atas 0 persen," ujar Sekretaris Jenderal API Rizal Rakhman kepada Bisnis.com, Rabu (5/8/2020).
Rizal berharap agar proyeksi resesi tidak terjadi. Pasalnya, resesi akan mengubah konstalasi perekonomian nasional, seperti perubahan sentimen dari pihak perbankan, perubahan pola pikir investor, dan perubahan prioritas program nasional.
Baca Juga
Selain itu, proses pemulihan industri TPT akan menjadi lebih panjang dari perkiraaan saat ini sekitar 1,5 tahun hingga akhir 2021. Rizal meramalkan resesi akan membuat waktu pemulihan berakhir pada akhir 2022.
Oleh karena itu, Rizal menyarankan agar pemerintah menerbitkan dan mengimplementasikan stimulus pada sektor manufaktur dengan lebih cepat. Contoh seperti stimulus peniadaan minimum pakai tenaga listrik selama 40 jam oleh pabrikan.
Pihaknya menilai stimulus tersebut tidak tepat karena keterlambatan implementasi. Pasalnya, saat ini mayoritas pabrikan sudah dapat menyalakan pabrikannya lebih dari 40 jam lantaran rata-rata utilitas industri TPT saat ini berada di kisara 40-45 persen.
"[Pabrikan hanya mampu berproduksi selama] 40 jam kalau utilisasinya 20 persen. Kalau mau, [stimulus itu diterbitkan] dari Mei-Juni 2020, cuma respons pemangku kepentingan lama," ucapnya.
Oleh karena itu, Rizal memperbarui usulan stimulus yang diminta yakni diskon waktu beban puncak sebesar 30 persen. Seperti diketahui, rata-rata pabrikan TPT memiliki daya sekitar 200.000 kWh dengan beban biaya puncak Rp1.500 per jam.
Usulan kedua adalah mengeluarkan fly ash bottom ash (FABA) dari daftar limbah berbahaya dan beracun (B3). Terakhir, memberikan stimulus yang meberikan keringanan pabrikan untuk membayar cicilan ke pihak perbankan.