Bisnis.com, JAKARTA - Mengubah stigma tentang sawit menjadi tantangan besar bagi Kanya Lakshmi Sidarta, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Semangatnya tak pudar untuk mengedukasi bahwa klaim sawit merusak lingkungan tidak sepenuhnya benar.
"Makin cinta karena peduli," ujarnya saat bercerita kepada Bisnis beberapa waktu lalu, tentang karirnya di industri strategis nasional tersebut.
Memang Lakshmi sebelumnya lebih banyak berkarir di pasar modal. Namun sejak bergabung di PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, keinginannya untuk membesarkan industri sawit dan turunannya semakin tinggi.
Awal mula bergabung di emiten berkode UNSP di lantai bursa ini, Lakshmi hanya berharap agar perusahaan yang telah lama tidur itu bangkit dan dikenal. Benar saja, pada era 2000an, sawit semakin dikenal karena masyarakat mengetahui bahwa produk sehari-hari yang dipakai berasal dari sawit. Pasar global semakin tertarik, saham perusahaan pun menjadi aktif.
"Cintanya, menyampaikan apa yang disampaikan ke publik," imbuhnya.
Ibarat lagi di atas awan, di tengah jalan kampanye negatif tentang sawit berdatangan. Lakshmi mulai mengendus adanya persaingan dagang yang tidak sehat.
Kata dia ekskalasi dari sisi kompetitor semakin besar, bahkan gila. Perang edukasi pun tak terbantahkan. Ketika pihaknya bicara tentang manfaat sawit, tentu kompetitor akan kalah. Oleh karena itu dicarilah angel lain yang lebih dikenal masyarakat, yakni isu lingkungan bahwa perkebunan sawit menyebabkan deforestasi. Padahal menurutnya berdasarkan logika, justru menanam sawit adalah reforestasi karena palma adalah tanaman hutan.
Adu argumentasi kembali terjadi, namun pesaing mencari sisi lain untuk diperdebatkan yakni tentang lahan ilegal.
Dijelaskan Lakshmi bahwa jelas perusahaan sawit memakai lahan legal karena sudah mengurus perizinan dan memegang hak guna usaha (HGU), yang berkekuatan hukum tetap. Ketika memegang HGU, perusahaan dapat melakukan hingga 3 kali siklus panen. Berbeda dengan individu yang hanya memegang surat hak milik (SHM) atas perkebunan.
Kesalahan demi kesalahan katanya terus digali. Apalagi hal tersebut dilakukan negara-negara besar yang memiliki kemampuan mencuci otak, khususnya pada kaum ibu rumah tangga dan anak-anak. Dan lagi-lagi yang dipakai yakni isu lingkungan.
Belasan tahun mereka menyampaikan bahwa perkebunan sawit memberi dampak buruk bagi lingkungan yang mendorong masyarakat perlahan meninggalkan produk turunan dan olahannya
"Tapi saya harus mengulang, membalikkan itu semua perlu waktu yang panjang. Mereka taunya mulai kecil sampai dewasa. Minimal 10 tahun. Kalau mau puter balik, minimal lebih panjang dari 10 tahun," tegasnya.
Tantangan ini belum selesai katanya. Dia terus memperjuangkan dengan cara yang tidak membuang tenaga dengan percuma.
"Ibaratnya nggak buang garam ke laut, tapi gimana caranya efektif, membuat mereka sadar. Tapi muncul kekhawatiran pada saat mereka sudah sadar sawitnya sudah hilang," pungkas wanita yang juga pernah berkarir selama di Sinar Mas Agribusiness & Food ini.