Tahun ini bisa menjadi catatan terkelam di industri penerbangan. Pandemi Covid-19 menyebabkan sektor penerbangan terpukul, tak hanya di nasional juga global. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) mencatat kerugian sektor penerbangan global Februari-Mei 2020 mencapai US$117,59 miliar. Di tingkat nasional, kerugiannya Rp23,4 triliun selama Februari-April 2020 sesuai data Indonesia National Air Carriers Association (INACA).
Data itu berbanding lurus dengan data Direktorat Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub yang diambil dari 50 bandara. Pada Maret-Mei 2020, penumpang yang diangkut maskapai nasional menurun tajam. Pada Mei 2020, jumlah penumpang hanya 88.731 orang atau anjlok 98% dibandingkan bulan yang sama 2019 (year on year/yoy) yang berjumlah 5,16 juta penumpang.
Pergerakan pesawat juga turun drastis hingga 87%, tinggal 6.729 pergerakan dari 52.739 pergerakan. Hanya pada kargo udara volumenya masih menggembirakan. Sepanjang Januari-Mei 2020, jumlah kargo yang diangkut memang menurun tetapi pada Juni 2020 meningkat signifikan.
Penurunan jumlah penumpang dan pergerakan pesawat kemungkinan sebagai akibat implementasi kebijakan pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) agar masyarakat tidak melakukan perjalanan ke luar rumah dan ke luar kota dalam rangka memutus rantai penyebaran Covid-19. Selain kebijakan PSBB, penurunan didorong pula ketakutan masyarakat terpapar virus corona.
Penurunan pergerakan pesawat dan penumpang mengindikasikan tujuan pemerintah untuk mengendalikan dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di seluruh Indonesia dapat dikatakan berhasil.
Setelah ada PSBB transisi dan diikuti kebijakan adaptasi kebiasaan baru (AKB), pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi. AKB adalah kebijakan membuka kembali aktivitas ekonomi, sosial dan kegiatan publik secara terbatas dengan menggunakan standar kesehatan guna menggairahkan kembali seluruh aktivitas ekonomi yang lesu akibat terdampak Covid-19.
Di sektor penerbangan, keluar Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 41/2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Sejalan dengan itu, dibuat petunjuk pelaksanaan teknis berupa Surat Edaran (SE) Menteri Perhubungan No. 13/2020 tentang Operasional Transportasi Udara Dalam Masa Kegiatan Masyarakat Produktif dan Aman Dari Covid-19.
Sektor penerbangan diharapkan berperan dalam mendukung kesuksesan pada masa AKB karena terkait erat dengan perekonomian, pertahanan dan keamanan, sosial budaya dan lingkungan nasional. Selain itu, penerbangan merupakan suatu bisnis yang mempengaruhi bisnis lain berskala global seperti perhotelan, travel, mal, MICE, ritel, hiburan dan restoran.
Pada 2019, Direktorat Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub mencatat terdapat 4,2 juta pekerja pada subsektor transportasi udara di Indonesia dengan nilai tambah kotor pada PDB sebesar US$24 miliar. Subsektor transportasi udara dan sektor pariwisata juga punya kontribusi 2,6% terhadap PDB nasional.
Dalam PM 41/2020, sektor transportasi boleh melakukan operasi setelah memenuhi syarat kesehatan yang diatur Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 seperti penumpang harus melengkapi dokumen hasil tes PCR negatif atau hasil rapid test nonreaktif yang berlaku 14 hari. Operator bandara juga harus memastikan adanya physical distancing dan selalu menjaga kebersihan di area bandara dengan rutin melakukan desinfeksi.
Maskapai penerbangan harus menjaga kebersihan dan kesehatan sarana dan prasarananya serta harus memastikan penumpangnya sudah memenuhi syarat kesehatan. Maskapai dilarang menerbitkan tiket jika penumpang belum memenuhi syarat kesehatan tersebut. Tambahan sejumlah syarat itu banyak dikeluhkan penumpang dan maskapai karena biaya untuk memenuhinya sama, bahkan bisa lebih besar dari biaya tiket.
Kondisi ini menjadi tantangan tetapi juga bisa menjadi peluang. Bagi masyarakat, kini mulai berfikir rasional dalam bepergian ke luar kota dan memilih sarana transportasi yaitu hanya untuk kegiatan yang memang benar-benar diperlukan. Bagi maskapai penerbangan, saatnya untuk melakukan efisiensi dan efektivitas kerja.
Frekuensi dan rute penerbangan dievaluasi lagi secara ketat dan kalau perlu tidak diterbangi jika dirasa tidak menguntungkan agar biaya operasional penerbangan bisa dihemat. Persaingan antarmaskapai jangan lagi berdasarkan tarif tetapi berdasarkan layanan yang diberikan.
Faktor kesehatan penerbangan bisa dijadikan promosi. Load factor yang dibatasi hanya 70% bisa disiasati dengan menjual tiket di batas atas dan hanya memberi diskon untuk kondisi tertentu. Pemerintah tidak menaikkan tarif batas atas, sehingga penumpang juga tidak akan menanggung tarif yang mahal tetapi biaya operasional maskapai bisa tetap tertutupi.
Penumpang yang sudah rasional dalam bertransportasi tentu tidak akan keberatan membeli tiket di batas atas, karena mereka memilih terbang sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Penumpang juga akan merasa aman dan nyaman karena pesawatnya sudah memenuhi standar kesehatan.
Pada era pandemi, pengiriman barang termasuk kargo udara tetap sangat diperlukan. Bahkan permintaannya melonjak. Maskapai penumpang bisa memaksimalkan penerbangannya untuk mengangkut kargo meski jumlah penerbangan regulernya menurun tajam. Bagi pengelola bandara, bisnis juga akan kembali bergairian dengan ada penerbangan, penumpang dan kargo.
Bandara bisa menambahkan sarana dan prasarana yang memudahkan pengecekan dokumen, termasuk dokumen kesehatan dengan menggunakan teknologi baru.
Semua itu akan bisa terlaksana baik jika didukung oleh pengaturan, pengendalian dan pengawasan oleh regulator penerbangan, baik di pusat oleh Ditjen Perhubungan Udara maupun oleh Otoritas Bandar Udara di masing-masing wilayah. Semua pemangku kepentingan diharapkan bisa bekerja sama dan tidak ada yang merasa ditinggalkan.
Mengutip pernyataan Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto, penumpang akan bisa, “terbang, selamat, sehat sepanjang semua pihak menjalankan protokol kesehatan.”
Di masa pandemi ini, kesehatan harus menjadi panglima. Protokol kesehatan harus menjadi referensi dan dilaksanakan semua operator dan penumpang sehingga dapat terbang selamat dan sehat.
Bila ICAO mempunyai moto no country left behind, maka penerbangan Indonesia pun bisa memaknainya sebagai no aviation stakeholder left behind. Dan, diharapkan hal yang baik di era AKB akan tetap bisa diterapkan jika keadaan sudah kembali ke fase normal.