Perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia dan Australia (Indonesia-Australia Comprehensif Economic Agreement/IA-CEPA) yang ditandatangani pada Maret 2019 mulai berlaku efektif 5 Juli lalu. IA-CEPA mencakup kerja sama pada bidang perdagangan dan investasi yang meliputi sektor pertanian, pertambangan, infrastruktur, pariwisata, dan pendidikan serta pelatihan.
Untuk sektor pendidikan/pelatihan sebenarnya sejak dekade 1990 kerja sama Indonesia dan Australia sudah terjalin baik, antara lain melalui proyek Indonesia-Australia Partnership in Skills Development (IAPSD) tetapi konteksnya berbeda dengan IA-CEPA.
Dalam IAPSD lebih bersifat searah yakni pengembangan sistem pendidikan dan latihan (diklat) vokasi di Indonesia sedangkan pada IA-CEPA bersifat dua arah yang saling menguntungkan. Sistem pedidikan/pelatihan vokasi pada kedua negara memiliki perbedaan kualitatif yang mencolok.
Di Australia dicirikan oleh peran dan keterlibatan yang dominan dari industri dan dunia usaha, standar kompetensi (training packages) yang disusun industri menjadi acuan lembaga pendidikan tinggi vokasi (TAFE) dan lembaga pelatihan dalam mengembangkan program studi dan pelatihannya.
Di Indonesia peran industri pada program pendidikan/pelatihan vokasi masih minim dan sebagian besar lembaga diklat vokasi seperti SMK, politeknik dan lembaga pelatihan kerja (LPK) belum mengembangkan program studi/pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi industri khususnya standar kompetensi nasional (SKKNI).
IA-CEPA memungkinkan lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi Australia mendirikan lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi patungan mayoritas di Indonesia. Hal ini akan memicu persaingan yang timpang antara lembaga diklat vokasi yang mayoritas milik Australia dan lembaga diklat vokasi milik Indonesia.
Ketimpangan akan terlihat jelas pada program diklat berbasis teknologi dan digital. Sebagai contoh, TAFE sebagai lembaga pendidikan tinggi vokasi Australia, dibandingkan dengan umumnya politeknik di Indonesia, memiliki kelebihan karena mereka memiliki program diklat yang berbasis industri, pengajar yang bersertifikat kompetensi dan sarana diklat yang serupa dengan peralatan di industri.
Program diklat di Australia mengacu pada paket pelatihan yang dikembangkan oleh asosiasi industri terkait. Para pengajarnya memiliki sertifikat kompetensi pengajar (Certificate IV) dan sarana pendidikannya mengacu pada paket pelatihan.
Ini dimungkinkan karena sebagian besar TAFE dimiliki pemerintah Australia. Selain itu asosiasi industri disana dapat mengembangkan paket pelatihan sesuai dengan kebutuhan industrinya dan didanai oleh pemerintah.
Sebaliknya politeknik di Indonesia sebagian besar dimiliki swasta dengan kualitas program pendidikan, pengajar dan sarananya yang masih memprihatinkan. Kondisi ini akan menimbulkan persaingan yang tidak seimbang, sehingga dapat menyebabkan banyak politeknik di Tanah Air gulung tikar.
Pada IA-CEPA juga terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan lembaga diklat vokasi dan industri Indonesia, antara lain melalui kemitraan dengan institusi dari negeri Kanguru. Adapun untuk peserta didik/latih vokasi dan tenaga kerja Indonesia terbuka peluang untuk mengikuti pelatihan/magang industri di Australia dan mendapatkan pengakuan kualifikasi profesional, sehingga lebih memudahkan memasuki pasar kerja di negara tersebut.
Hal ini dimungkinkan karena di luar naskah perjanjian IA-CEPA, ada dua nota kesepahaman (MoU) yang merupakan bagian integral dari perjanjian induk. Pertama, MoU mengenai pertukaran keterampilan timbal balik antara Australia dan Indonesia.
Kedua, MoU tentang pelatihan berbasis tempat kerja yang setiap tahun memberikan kesempatan bagi 200 tenaga kerja Indonesia tinggal sementara untuk jangka waktu hingga enam bulan mengikuti pelatihan berbasis tempat kerja di sektor-sektor tertentu seperti jasa keuangan, pertambangan, infrastruktur, dan pariwisata.
Untuk mengatasi tantangan dan sekaligus memanfaatkan peluang dari IA-CEPA, paling tidak ada empat langkah yang harus dilakukan segera. Pertama, revitalisasi sistem diklat vokasi melalui penerapan secara terpadu tiga pilar diklat vokasi berbasis kompetensi, yakni pengembangan SKKNI oleh industri, pengembangan program studi/pelatihan mengacu pada standar kompetensi industri khususnya SKKNI, dan pelaksanaan sertifikasi kompetensi untuk lulusan diklat vokasi.
Kedua, revitalisasi peran industri sebagai penggerak utama (prime mover) pada pengembangan tiga pilar diklat vokasi terutama dalam pengembangan SKKNI.
Ketiga, pada aspek program diperlukan perjanjian saling pengakuan kualifikasi profesional, khususnya harmonisasi atau penyetaraan antara jenjang kualifikasi profesional yang diterapkan di Australia, yakni the Australian Qualification Framework (AQF) dan jenjang kualifikasi yang digunakan Indonesia yakni Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Keempat, keterpaduan penerapan sistem insentif vokasi yang sudah digulirkan pemerintah. Untuk industri selain insentif super tax deduction, pemerintah perlu mengalokasikan insentif fiskal kepada asosiasi industri untuk mengembangkan SKKNI/jenjang kualifikasi dan kepada lembaga diklat vokasi perlu diberikan bantuan revitalisasi sarana pembelajaran/pelatihan dan peningkatan kualitas pengajar/instruktur.