Bisnis.com, JAKARTA -- Dibukanya pintu ekspor tanpa peta jalan yang jelas pun dikhawatirkan bakal mencederai impian budidaya di dalam negeri yang bersaing dengan negara tetangga.
Jika ekspor benur terus berlanjut, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengemukakan bukan tak mungkin ekspor lobster dewasa Indonesia bakal terganggu.
Apalagi, ekspor benih lobster diduga hanya menguntungkan segelintir pihak dengan proses pengiriman yang terindikasi dilakukan secara terburu-buru. Dugaan tersebut mengemuka kala pengiriman benur kembali terjadi pada Jumat dini hari (10/7/2020). Sebanyak 35 kali bibit lobster dikabarkan diekspor oleh empat perusahaan dengan Vietnam sebagai negara tujuan.
Jika dihitung-hitung, ini adalah kali kedua giat ekspor dilakukan sejak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Indonesia diterbitkan pada Mei lalu. Aksi ekspor pertama dilaporkan terjadi pada 12 Juni lalu.
“Pasar lobster utama Indonesia dan Vietnam itu sama-sama ke China, tapi Vietnam buka jendela saja sudah dekat dengan China, bandingkan dengan Indonesia yang berat di biaya pengiriman. Ekspor benih ke negara pesaing sama saja bunuh diri,” katanya kepada Bisnis, Minggu (12/7/2020).
Ekspor benur pun secara nyata mengikis harga di tingkat nelayan budidaya. Margin harga yang besar antara harga ekspor dan harga di tingkat nelayan membuat opsi pengiriman ke luar negeri menjadi pilihan yang menggiurkan di tengah berbagai risiko budidaya. Walhasil, benih kualitas tinggi bakal dikirim untuk ekspor sementara yang tersisa di dalam negeri adalah benih dengan kualitas rendah.
Baca Juga
Hal inilah yang lantas membuat Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mendesak pemerintah turut mengatur harga penjualan di nelayan dan harga ekspor. Menurut keterangannya, harga benur di tingkat nelayan hanya dihargai di kisaran Rp10.000-15.000 per ekor. Harga ini sangat kontras dengan harga jual ekspor yang dikabarkan mencapai Rp70.000-150.000 per ekor.
“Dengan kondisi saat ini, jelas ekspor lebih terakomodasi. Orang tentu berpikir lebih baik ekspor dan tidak perlu budidaya karena memakan waktu yang lama,” kata Dani.
Dia pun mengharapkan ada keseriusan pemerintah dalam membangun budidaya benur di dalam negeri. Peta jalan yang komprehensif dia nilai perlu disusun dan komitmen eksportir dalam menggandeng nelayan pembudidaya perlu ditegakkan.
“Kalau memang ingin mengalahkan Vietnam harus mulai berstrategi. Berapa lama ekspor mau dibuka? Kalau tidak budidaya tidak akan maju,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M. Zulficar Mochtar tak memberi tanggapan terhadap permohonan wawancara Bisnis. Sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Moh. Abdi Suhufan, Kementerian yang kini dinahkodai oleh Edhy Prabowo tersebut terkesan sudah bulat dalam mengambil kebijakan.
“Kami menyarankan KKP tansparan dalam proses, mekanisme, dan uji tuntas perusahaan calon eksportir benih lobster. Umumkan ke publik apa hasil uji tuntas 30 perusahaan yang telah mendapatkan izin ekspor,” kata Abdi.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayonto mengemukakan bahwa ekspor benih lobster sejatinya tak akan dilakukan terus-menerus.
Soal giat ekspor yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan tanpa rekam jejak budidaya dalam dua bulan terakhir, dia berujar bahwa perusahaan tersebut bisa bekerja sama atau berinvestasi dalam pengembangan budidaya lobster.
“Soal daya saing dan ekspor yang menguntungkan Vietnam itu tidak benar juga. Kita memang perlu belajar supaya survival rate [benur sampai dewasa] bisa sampai 70 persen seperti mereka, sekarang masih 30 persen,” ujar Yugi.
Ekspor benur sejatinya bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk menggenjot kemampuan budidaya dalam negeri. Namun hal tersebut tentu tak bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. Sebagaimana suara berbagai pihak, perlu ada keseriusan dari pemangku kebijakan untuk menjaga kedigdayaan sumber daya alam bahari Nusantara.
Pemerintah pernah menggaungkan negeri ini sebagai poros maritim dunia. Tapi jargon, sebagaimana kalimat lainnya, keluar dari mulut lebih cepat sebelum otak bisa mencerna. Dengan demikian, ihwal kekayaan laut pun menyisakan sengkarut yang kian semrawut.