Istilah stagflasi pertama kali diperkenalkan oleh Iain MacLeod, Menteri Keuangan Inggris pada 1965. Istilah ini untuk menggambarkan kondisi perekonomian Inggris yang sedang berada pada kondisi tidak ideal.
Stagflasi merujuk pada dua kondisi ekonomi ekstrem yang terjadi secara bersamaan, yaitu stagnasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang menggerus daya beli masyarakat.
Kondisi stagflasi merupakan kondisi yang paling ditakuti oleh seluruh pelaku ekonomi di seluruh negara. Stagflasi merupakan perwujudan dari krisis ekonomi yang menghancurkan seluruh sendi perekonomian dari dua sisi sekaligus, yaitu sisi penawaran dan permintaan.
Oleh karena itu, salah satu langkah realistis pemerintah ketika kondisi ekonomi mulai masuk ke dalam pusaran krisis ekonomi adalah dengan menjaga agar roda dan aktivitas perekonomian tidak terseret ke dalam kondisi stagflasi. Pandemi Covid-19 sepertinya sudah mulai memunculkan potensi stagflasi, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Pandemi ini telah menimbulkan guncangan ekonomi yang sangat luas dan berdampak pada seluruh sektor ekonomi. Selain menggoncang sisi penawaran dan permintaan sekaligus, wabah ini juga ikut mengguncang rantai pasok global, sehingga berdampak ke hampir seluruh lapangan usaha.
Pada awal 2020 pertumbuhan ekonomi nasional turun signifikan, padahal Indonesia baru tercatat secara resmi terjangkiti virus Covid-19 pada awal Maret 2020. Oleh karena itu, efek pandemi terhadap perekonomian Indonesia pada awal 2020 diyakini belum mencapai titik optimalnya.
Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I/2020 tercatat hanya 2,97% (year-on-year/ yoy), jauh dari target sebelumnya yaitu 4%-5%.
Memasuki kuartal II/2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin terkontraksi menyentuh angka -3,8%. Bahkan Badan Pusat Statistik memperkirakan kontraksi pertumbuhan pada kuartal II/2020 berada pada tingkat yang lebih dalam, berkisar -4,8% sampai -7%. Di sisi lain, World Bank memperkirakan sampai dengan akhir 2020 perekonomian Indonesia akan tumbuh -3,5%.
Besarnya koreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal 2020 bisa menjadi pertanda bahwa potensi stagflasi ekonomi kian nyata.
Lingkaran episentrum guncangan ekonomi yang diakibatkan pandemi Covid-19 diyakini semakin membesar. Penutupan pusat-pusat produksi dan perbelanjaan yang sudah dimulai sejak pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan New Normal sudah menciptakan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut catatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, terdapat 6 juta tenaga kerja yang terkena PHK dan dirumahkan sebagai dampak pandemi.
Munculnya 6 juta pengangguran baru ini akan menekan daya beli masyarakat secara agregat dan mendorong tingkat inflasi riil menjadi lebih tinggi. Di sisi lain, penghentian aktivitas produksi untuk sektor-sektor non-primer akan semakin menekan aktivitas produksi yang berimplikasi pada penurunan produk domestik bruto (PDB) dalam skala nasional.
Potensi menurunnya PDB ini akan semakin besar seiring dengan capital outflow di sektor keuangan. Berdasarkan data settlement Bank Indonesia (BI) sepanjang 2020 (year-to-date/ytd), nonresiden di pasar keuangan domestik mencatatkan aksi jual neto sebesar Rp162,18 triliun.
Untuk menekan dampak negatif pandemi terhadap kondisi perekonomian nasional, pemerintah telah membuat berbagai kebijakan, baik dari sisi moneter maupun fiskal. Dari sisi fiskal, ada beberapa paket insentif fiskal seperti relaksasi pajak dan bantuan permodalan untuk UMKM yang bersumber dari APBN.
Dari sisi moneter, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan yang dapat menurunkan tingkat suku bunga seperti subsidi suku bunga, penurunan suku bunga acuan, peningkatan peran BI, dan relaksasi kredit. Namun sejauh ini kebijakan tersebut dinilai masih belum efektif dalam meredam efek negatif pandemi.
Oleh karena itu, pemerintah harus terbuka terhadap berbagai masukan kebijakan dalam menekan efek negatif pandemi terhadap perekonomian, terutama terhadap potensi munculnya stagflasi ekonomi.
Stagnansi pertumbuhan ekonomi harus didorong oleh kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansioner. Kebijakan yang memerlukan biaya yang sangat mahal tetapi diperlukan untuk menahan efek negatif yang jauh lebih besar. Insentif untuk sektor-sektor primer harus diperbesar dengan bantuan pembukaan akses pasar yang lebih masif, terutama untuk kelompok UMKM. Di sisi lain, daya beli masyarakat harus tetap dijaga.
Kebijakan moneter harus dibuat seirama dengan kebijakan fiskal, sehingga keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil makin kuat. Pasar keuangan harus ‘diperdalam’ untuk meminimalisasi capital outflow. Semua kebijakan moneter tersebut harus tetap berpegang pada asas kehati-hatian.
Pada situasi abnormal seperti masa pandemi ini, pemerintah harus mampu membuat respon kebijakan yang cepat tetapi dengan tetap memberi ruang pada prinsip kehatian-hatian dan fleksibilitas terhadap berbagai alternatif kebijakan lainnya.
Ibarat sebuah kapal yang sedang menghadapi badai di lautan, pemerintah yang bertindak sebagai nakhoda harus memiliki ruang yang cukup agar mampu bermanuver cepat dengan tetap aman, sehingga kapal tidak karam dan seluruh penumpangnya selamat.