Bisnis.com, JAKARTA - Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Juda Agung mengatakan amandemen Undang-Undang BI harus memberi keleluasaan bagi bank sentral untuk turun langsung ketika terjadi krisis.
Juda menambahkan dalam situasi tertentu, misalnya situasi seperti krisis seperti sekarang ini, peran bank sentral dalam pembiayaan ekonomi itu sangat penting.
Namun harus diakui, peran itu belum ada di dalam undang-undang yang existing. Dengan momen revisi UU BI, menurut Juda substansinya bisa diarahkan supaya dalam situasi-situasi tertentu BI bisa melakukan pembiayaan kepada ekonomi.
"Apakah itu melalui pemerintah maupun melalui sistem perbankan," kata Juda saat menjalani uji kelayakan Calon Deputi Gubernur BI di Komisi XI, Selasa (7/7/2020).
Juda juga menjelaskan fokus lain yang perlu dimasukan dalam RUU BI adalah UMKM. Selama ini Bank Indonesia lebih banyak pengembangan UMKM lebih dari sisi advice, misalnya memberikan bantuan teknis kepada UMKM dan juga memberikan contoh-contoh misalnya cluster di beberapa daerah.
Sementara peran yang lebih luas lagi ini belum ada di dalam undang-undang padahal di beberapa negara misalnya seperti Malaysia peran dari peran bank sentral dalam pengembangan SNI atau UMKM ini lebih lebih kuat.
"Ketiga adalah menurut hemat kami adalah makroprudensial yang selama ini Bank Indonesia menggunakan UU OJK sebagai basis di dalam melakukan kebijakan makroprudensial," tukasnya.
Seperti diketahui, Revisi UU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020 - 2024.
Dikutip dari laman resmi DPR, revisi UU BI telah diusulkan pada tanggal 17 Desember 2019. Revisi UU Bank Indonesia disiapkan oleh DPR & pemerintah. Dalam PMK No.77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020 - 2024 RUU BI menjadi salah satu prioritas pemerintah.
Pemerintah menyebut ada dua urgensi revisi UU tersebut. Pertama, mendukung pertumbuhan perekonomian nasional sehingga meningkatkan penerimaan (APBN) dan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang efektif.
Kedua, mendorong pertumbuhan investasi melalui penambahan kewenangan BI, terkait pengaturan makroprudensial.