Bisnis.com, JAKARTA - Sejak awal pandemi corona atau covid - 19, Presiden Joko Widodo selalu menekankan soal pembagian beban (burden sharing) defisit anggaran.
Kepala negara ingin semua pengampu kepentingan saling bahu membahu menerapkan pembagian beban secara proporsional dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan anggaran pemulihan ekonomi nasional atau PEN.
Sayangnya, penekanan dari kepala negara ini tak diterjemahkan secara cepat oleh para pelaksana kebijakan di bawahnya. Bahkan, soal burden sharing pembiayaan PEN, pemerintah & Bank Indonesia (BI) tak kunjung mencapai titik temu.
Puncaknya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuat kebijakan penempatan dana pemerintah yang ada di BI ke bank milik negara.
Skema ini memungkinkan pemerintah melalui bank negara untuk mendorong pemulihan ekonomi tanpa harus menunggu langkah BI yang masih bingung menetukan peran dalam pembiayaan PEN.
Padahal menurut Sri Mulyani saat rapat dengan DPR pekan lalu pembahasan burden sharing yang belum selesai telah berimbas tertundanya sejumlah program pemerintah, salah satunya penerbitan surat berharga negara (SBN) melalui private placement.
"Karena [burden sharing] belum selesai SBN-nya belum keluar. Padahal presiden menginginkan ini harus segera," kata Sri Mulyani pekan lalu.
Bagaimanapun burden sharing antara pemerintah & BI harus diselesaikan. Pemerintah tak bisa berjalan sendiri. Apalagi dalam catatan Bisnis, kebutuhan tambahan utang pemerintah sebanyak Rp903,4 triliun atau pembiayan bruto menjadi Rp1.645,3 triliun.
Tambahan utang ini untuk menambal pelebaran defisit sebesar Rp1.039,2 triliun, kebutuhan investasi neto sebesar Rp181,2 triliun dan utang jatuh tempo sebesar Rp424,8 triliun.
JOKOWI TURUN TANGAN
Nah, persoalannya hingga pekan lalu skema ini tak kunjung selesai dibahas. Sampai-sampai Presiden Joko Widodo turun tangan terhadap persoalan tersebut.
Dia tak ingin ada lembaga yang masih memikirkan keuntungan di tengah kondisi perekonomian yang terkoyak pandemi. Hal itu juga yang membuat presiden marah karena lambannya pencairan dana karena masih ada perbedaan antarlembaga.
Di sisi lain, suara-suara keras dari parlemen juga mulai berseliweran. Mereka berharap BI bisa mengambil peran yang signifikan dalam pembiayaan PEN.
Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah, misalnya, telah mengusulkan dua skema pembagian beban antara otoritas fiskal & moneter.
Pertama, untuk pembiayaan yang bersifat barang publik (public goods), misalnya, Said mengusulkan supaya pemerintah dan BI bisa menggunakan pola atau skema burden sharing, di mana beban pemerintah sebesar 0 persen dan BI sebesar 100 persen.
Kedua, bagi pembiayaan yang bersifat barang non-publik (non-public goods), pemerintah dan BI bisa menggunakan pola atau skema 50 persen dan dan BI sebesar 50 persen.
Begitu pula dengan sejumlah anggota Komisi XI DPR yang meminta BI untuk menerima bunga 0% dari setiap pembelian surat utang yang diterbitkan pemerintah.
Sejauh ini dari hasil pembicaraan sementara pemerintah & BI untuk pembiayaan yang sifatnya publik nantinya 100 persen akan ditanggung oleh bank sentral.
Sementara itu, untuk non-public goods nantinya akan ditanggung pemerintah. Dengan demikian, pemerintah mengkalkulasikan 53,9 persen bunga akan ditanggung BI.
Usulan ini bisa saja diterapkan, tetapi yang pasti BI juga memiliki pertimbangannya sendiri. Apalagi soal zero kupon, BI memiliki pengalaman pahit di masa lalu, terutama dalam kasus BLBI.
Sebaliknya, tak bijak juga rasanya jika BI masih memikirkan 'imbal hasil' dalam posisi yang serba kepepet.