Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indef: Bunga Utang Indonesia Lebih Mahal Dibandingkan Negara Lain, Kok Bisa?

Pemerintah perlu memasang strategi baru agar mendapat sumber pembiayaan yang lebih murah dibandingkan saat ini. Pasalnya, imbal hasil obligasi kita 1,4 persen lebih mahal dari Filipina.
Ilustrasi OBLIGASI. Bisnis/Abdullah Azzam
Ilustrasi OBLIGASI. Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior Indef Drajad Wibowo mengkritisi bunga atau imbal hasil utang yang ditawarkan pemerintah Indonesia kepada investor asing terlalu mahal.

Apalagi, surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah untuk membiayai stimulus penanganan virus Corona (Covid-19) saat ini. Dia memberikan perbandingkan antara imbal hasil obligasi global yang diterbitkan pemerintah Indonesia dan Filipina.

"Biaya utang kita mahal, ini baru saja terjadi saat Bendahara Nasional Filipina mengatakan negara mereka mengeluarkan global bond dalam redenominasi dolar sebesar US$2,3 miliar dalam jangka waktu 10 tahun dan 25 tahun. Itu satu tahun kuponnya hanya 2,47 persen," katanya dalam diskusi webinar yang digelar Bravos Radio, Senin (29/6/2020).

Angka tersebut, lanjutnya, lebih rendah dibandingkan imbal hasil yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia.

Penerbitan obligasi global oleh pemerintah pada awal April 2020 tercatat senilai US$4,3 miliar. Saat itu, Indonesia mengeluarkan tiga seri surat berharga global berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS).

Seri pertama yang dikeluarkan yakni RI1030 dengan tenor 10,5 tahun atau jatuh tempo pada 15 Oktober 2030. Dari surat utang itu, Indonesia mengantongi US$1,65 miliar dengan imbal hasil atau imbal hasil di level global 3,9 persen.

Selanjutnya, Indonesia juga menerbitkan seri RI1050 yang memiliki tenor 30,5 tahun atau jatuh tempo pada 2050. Nominal yang diterbitkan senilai US$1,65 miliar dengan imbal hasil 4,25 persen.

Seri ketiga yang dikeluarkan memiliki tenor terpanjang selama 50 tahun. RI0470 akan jatuh tempo pada 15 April 2070 dengan total jumlah pokok US$1 miliar dan imbal hasil 4,5 persen.

"Imbal hasil obligasi kita 1,4 persen lebih mahal dari Filipina. Ini ada apa?" lanjutnya.

Drajad mengatakan situasi tersebut bukan hanya terjadi saat ini, tetapi sudah berlaku sejak lama. Dia menceritakan pengalaman melayangkan protes terkait tingginya imbal hasil yang ditawarkan pemerintah kepada Presiden Indonesia Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kritik tersebut disampaikan Drajad ke SBY saat ada kegiatan pertemuan G20 di London beberapa tahun silam.

"Saat itu yield obligasi kita itu sampai 11 persen. Saya bilang ke Presiden SBY itu mahal sekali, tetapi pemerintah jawab karena krisis 2008. Investor asing senang soalnya kupon di AS [US Treasury] cuma 1-2 Persen," jelasnya.

Oleh karena itu, Drajad menetapkan strategi baru agar mendapat sumber pembiayaan yang lebih murah dibandingkan saat ini.

Pemerintah, lanjutnya, juga harus meningkatkan penerimaan dari dalam negeri. Meskipun, dia tidak menampik hal itu sulit dilakukan karena ekonomi dalam negeri tertekan akibat wabah Covid-19.

"Sumber pembiayaan harus lebih murah, agar kita tak harus banyak menerbitkan utang. Saya sadar kondisi sekarang sulit, tetapi banyak sumber-sumber penerimaan yang masih bisa digali," ucap Drajad.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper