Bisnis.com,JAKARTA- Diskon harga rokok dinilai menyebabkan negara mengalami kerugian hingga Rp2,6 triliun. Hal tersebut tersingkap dalam diskusi yang digelar Indonesian Budget Analysis.
Peneliti kebijakan publik Emerson Yuntho mengatakan bahwa kenaikan cukai pada 2020 berimbas kepada harga jual eceran (HJE) yang tertera pada pita cukai rokok naik tinggi. Sebagai contoh, tuturnya, minimum HJE rokok sigaret kretek mesin (SKM) golongan 1 mengalami kenaikan 51,8%, dari Rp1.120 menjadi Rp. 1.700 per batang.
“Secara sederhana, satu bungkus rokok SKM isi 20 batang seharusnya mengalami kenaikan harga sesuai kenaikan minimum HJE yakni sebesar 51,8%, dari Rp22.400 menjadi Rp34.000. Namun kenyataannya, kenaikan harga rokok di pasaran hanya berkisar Rp1.000 hingga Rp3.000 per bungkus. Harga rokok termurah sekitar Rp12.000 dan harga termahal Rp32.000 untuk sebungkus dengan 20 batang rokok,” ujarnya dalam diskusi daring yang digelar Indonesian Budget Analysis, Kamis (18/6/2020).
Dia melanjutkan hal ini diperburuk dengan masih dijualnya rokok secara eceran atau batangan dan maraknya praktik diskon rokok yang dilegalkan oleh pemerintah. Lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor Nomor 146 Tahun 2017 (PMK 146/2017) kemudian direvisi menjadi PMK Nomor 156 Tahun 2018 (PMK 156/2018) dan PMK Nomor 152 Tahun 2019 (PMK 152/2019), Pemerintah mengatur cukai, HJE dan Harga Transaksi Pasar (HTP) atau harga akhir di tingkat konsumen. Dalam PMK tersebut, diatur bahwa HTP rokok dibatasi minimum 85% dari HJE yang tertempel di pita cukai.
Pengawasan HTP selanjutnya, tutur Emerson, diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 (Perdirjen 37/2017) jo. Perdirjen 12/2018 jo. Perdirjen 25/2018 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Regulasi ini, katanya, merupakan aturan teknis pelaksanaan dari PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam Perdirjen itu disebutkan Bea Cukai melakukan pengawasan HTP di lapangan setiap 3 bulan sekali. Dalam skema pengawasannya, disebutkan satu merek dinyatakan melanggar apabila ditemukan memiliki HTP di bawah 85% HJE di lebih dari 50% kantor wilayah pengawasan Bea Cukai.
“Ketentuan kelonggaran 50% kantor wilayah pengawasan yang ada di Perdirjen ini tentunya kontradiktif dengan ketentuan PMK di atasnya. Sejak implementasinya di 2017, dan menimbang bahwa PMK 146/2017 telah direvisi menjadi PMK 152/2019 dan Perdirjen 37/2017 juga telah direvisi menjadi Perdirjen 25/2018, ketentuan pengawasan yang memperbolehkan diskon rokok tidak juga direvisi maupun dihapus dan justru tetap dipertahankan hingga saat ini,” tambahnya.
Menurut Emerson, kebijakan diskon rokok muncul dalam regulasi tentang cukai tembakau tanpa argumentasi yang jelas. PMK Nomor 146 Tahun 2017 yang telah mengatur ketetapan minimum HTP 85% dari HJE, ucapnya, malah diingkari oleh peraturan teknisnya yaitu Perdirjen Bea Cukai Tahun 37 Tahun 2017 yang memperbolehkan penjualan di bawah 85% asal dilakukan di kurang dari 50% kantor wilayah pengawasan DJBC.
Lebih jauh, peredaran rokok diskon juga menyebabkan penerimaan negara dalam bentuk PPh badan menjadi tidak optimal. Lembaga Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebutkan kebijakan diskon rokok yang diatur dalam Perdirjen Bea Cukai Nomor 37 Tahun 2017 menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak penghasilan (PPh) badan sebesar Rp1,73 triliun. Tentu saja, kata Emerson, dengan kenaikan tarif cukai dan minimum Harga Jual Eceran (HJE) setiap tahunnya, jika kebijakan diskon rokok ini tetap terus berlanjut, maka kerugian negara pun akan semakin meningkat setiap tahun.
Penghitungan yang dilakukan oleh INDEF, katanya, berdasarkan hasil pemantauan di lapangan pada 2019. Pada 2020, tarif minimum HJE meningkat untuk segmen SKM dan SPM senilai rata-rata 52,1%. Sehingga berdasarkan hitungan simulasi yang mengacu data kajian 2019 dengan asumsi volume penjualan tetap dan kenaikan HTP mengikuti kenaikan HJE sebesar rata-rata 52,1%, potensi hilangnya PPh Badan dari kebijakan diskon rokok senilai Rp1,73 triliun.
"Akibat kebijakan diskon rokok juga bertambah 52,1% di tahun 2020 menjadi Rp2,6 triliun," jelas Emerson.
Karena itu, dia meminta Dirjen Bea dan Cukai mencabut ketentuan terkait kebijakan diskon harga rokok sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 jo Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 25 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Khususnya metode pengawasan yang baru akan menganggap sebuah merek melanggar apabila ditemukan punya HTP di bawah 85% HJE di lebih dari 50% kantor wilayah pengawasan kantor BC.
Penegakan minimum HTP, lanjut Emerson, harus sesuai dengan peraturan di atasnya, dimana HTP ditentukan minimum 85% dari HJE dan pengawasan seharusnya dilakukan tanpa pengecualian.
Pemerintah juga mesti menghapus ketentuan yang memungkinkan praktek diskon rokok terjadi di pasar yang tertera di Pasal 16 (5) PMK Nomor 146 Tahun 2017 dan mengatur bahwa HTP minimal 85% dari HJE. Penghapusan ketentuan ini, tuturnya, bisa dilakukan secara bertahap seperti menaikkan rasio HTP terhadap HJE ke 90%, 95% dan akhirnya 100%.
“Ketentuan ini tentunya perlu dibarengi dengan kewajiban pengawasan yang ketat. Penghapusan kebijakan ini dapat dimaknai sebagai kontribusi Kementerian Keuangan dalam mendukung pengendalian tembakau dan perlindungan anak dari ancaman zat adiktif, mendukung pencapaian RPJMN khususnya penurunan prevalensi rokok usia muda dan mendorong penerimaan negara dari sisi PPh badan menjadi lebih optimal,” pungkasnya.