Bisnis.com, JAKARTA – Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyebutkan banyak menerima pengaduan soal tagihan listrik yang membengkak pada pemakaian Mei.
Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim mengatakan pada 2018, BPKN menerima pengaduan sebanyak 580 pengaduan, lalu meningkat 1.518 pengaduan di 2019. Hingga 1 Juni, BPKN menerima pengaduan 582 aduan.
"Angka ini di luar pengaduan listrik karema belum direkap. Dari 582 pengaudaun 2020 kalau kami lihat darisektor, perumahan paling tinggi di 63 persen, kemudian keuangan, telekkomunikasi, e-commerce, dan lainnya," ujarnya dalam diskusi teleconference, Senin (15/6/2020).
Dia menuturkan pekan lalu pihaknya menerima cukup banyak pengaduan yang isinya berupa keluhan, konsultasi dan pengaduan terkait tagihan listrik.
Dia mencontohkan seorang pelanggan yang selama periode Januari-April pembayaran listrik stabil di angka Rp600.000 per bulan, tiba-tiba menjadi Rp1,4 juta pada Mei lalu.
"Memang fenomena lonjakan tagihan listrik membuat kita relatif agak shock, khususnya bidang perlindungan konsumen," katanya.
Baca Juga
Menurutnya, kenaikan tagihan listrik yang harus dihadapi oleh banyak pelanggan PLN bisa membuat posisi konsumen menjadi semakin tersudut. Posisi konsumen akan menjadi lebih inferior dalam lonjakan tagihan listrik ini ketimbang pihak penyedia jasa, yakni PLN.
"Fenomena lonjakan listrik ini bukan lagi jadi bukti nyata inferior konsumen, ini akan memperburuk inferior konsumen. Makanya kami memandang perlu adanya rekomendasi atau perspektif dari sisi perlindungan konsumen," ucapnya.
Pihaknya mencoba memahami kondisi masyarakat yang kini tengah kesulitan akibat wabah virus corona (Covid-19).
Menurutnya, banyak warga yang saat ini sulit mencari pembiayaan akibat maraknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga penghentian sementara kegiatan usaha.
"Ada efek kejut tidak hanya pada sisi supply, tetapi juga dari sisi demand. Padahal kita tahu sisi demand adalah bantalan perekonomian kita. Ini beda dengan krisis sebelumnya, efek kejut di supply pemerintah bisa lakukan isolasi dan stimulus di demand. Makanya kita masih bertahan.
“Risikonya sangat besar sekali. Baik pakar matematikan, ekonomi, dan lain-lain sulit buat estimasi kapan kita bisa recovery," tutur Rizal.