Kita semua tahu wabah Covid-19 telah memukul kinerja perdagangan di hampir semua negara, tidak terkecuali Indonesia. Aktivitas industri di berbagai negara besar seperti China, Korea Selatan, Jepang dan Eropa harus dihentikan sementara waktu, sehingga pasokan produk secara global pun terkoreksi.
Di sisi lain adanya kebijakan karantina wilayah di banyak negara juga membuat permintaan produk yang diperjualbelikan antar negara pun ikut turun. WTO memprediksi perdagangan dunia bakal turun 13% hingga 32% tahun ini dibandingkan dengan 2019.
Di dalam negeri kita juga mengalami kendala. Di samping turunnya permintaan global terhadap produk Indonesia, pengusaha domestik pun tak mampu beroperasi optimal. Hal itu tak lepas dari beberapa daerah yang melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau hal serupa sepanjang triwulan kedua tahun ini. Praktis, banyak perusahaan dan pabrik tidak bisa berproduksi maksimal.
Lalu, pasti muncul pertanyaan, bagaimana prospek industri dan kinerja perdagangan ketika PSBB di beberapa daerah mulai dilonggarkan? Terlebih saat ini mulai muncul istilah mengenai new normal yang mungkin bisa terjadi sepanjang semester kedua tahun ini.
Jawabannya ini adalah saat yang tepat untuk memulai kembali dan berbenah di internal perusahaan Indonesia, terutama yang berbasis ekspor. Pelonggaran PSBB secara tidak langsung menjadi sinyal bagi pengusaha untuk membenahi kekuatan perusahannya dan mencari strategi baru untuk berdagang di masa depan.
Kita harus akui dan realistis, semester kedua tahun ini belum akan menjadi periode yang bisa dimanfaatkan untuk langsung tancap gas memacu ekspor. Perlu diketahui, banyak negara mitra dagang kita seperti Jepang, Korea Selatan dan Eropa belum sepenuhnya membuka diri terhadap akses perjalanan orang dari luar negeri. Sejauh ini, baru Amerika Serikat yang membuka diri, tapi khusus bagi individu pemegang green card.
Praktis, para eksportir di Indonesia hanya bisa memanfaatkan dan mempertahankan pelanggan lama di luar negeri. Saya pun percaya, belum akan ada ekspansi yang signifikan dari sisi ekspor sepanjang semester kedua tahun ini.
Di semester kedua tahun ini pun, dari sisi keragaman produk untuk diekspor, kami perkirakan tidak terlalu banyak seperti ketika kita berada pada kondisi normal. Perkiraan kami, produk-produk basic needs yang berpeluang besar untuk dioptimalkan ekspornya seperti pakaian, alas kaki, elektronik serta produk mentah seperti batu bara dan minyak sawit (CPO).
Kita sebenarnya memiliki peluang untuk melakukan ekspor alat pelindung diri dan sejumlah alat kesehatan lain seperti masker lantaran produksi di dalam negeri mulai melimpah. Namun, belum ada keputusan dari pemerintah untuk membuka kembali keran ekspornya.
Dari sisi impor pun kami perkirakan belum akan mengalami pemulihan yang signifikan, terutama untuk barang modal dan bahan baku penolong. Sebab, perusahaan-perusahaan dalam negeri Indonesia masih membutuhkan waktu untuk memperbaiki cash flow.
Terlebih, stimulus yang digelontorkan pemerintah pun belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan pengusaha. Tak heran jika penundaan untuk melakukan impor produktif bakal terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Maka, lagi-lagi perlu ditekankan bahwa semester kedua tahun ini perlu dijadikan pengusaha untuk pembenahan internal secara optimal sebelum akhirnya menyambut peluang yang ada pada tahun depan.
Itupun dengan catatan, pada 2021 perdagangan domestik dan global dapat kembali pulih dan pandemi mereda atau ditemukan vaksinnya.
Dalam memperbaiki kinerja perdagangan nasional, tentu pengusaha tidak bisa berjalan sendirian. Perlu ada campur tangan pemerintah untuk paling tidak memulihkan permintaan domestic agar beberapa perusahaan yang awalnya bergantung kepada permintaan luar negeri bisa sedikit mengalihkan pasarnya ke dalam negeri.
Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan belanja pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah harus berani ambil risiko untuk menggenjot belanja barangnya dari produk buatan dalam negeri meskipun harganya lebih mahal daripada produk impor.
Langkah selanjutnya adalah dengan mengoptimalkan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), karena kebijakan ini masih cenderung jalan di tempat, sehingga efeknya terhadap industri domestik pun rendah.
Selain itu, tentu saja memperkuat kebijakan perlindungan dagang produk dalam negeri secara fair. Pasalnya, ada prediksi yang menyebutkan bahwa banyak negara akan membanting harga jual produknya agar bisa memenangkan pasar di tengah ketidakpastian akibat Covid-19.
Sementara itu, untuk memperkuat sekaligus menyiapkan diri menggenjot ekspor, pemerintah perlu mengoptimalkan Atase Perdagangan (Atdag) dan Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) di luar negeri.
Saya harus jujur, kita punya banyak sekali ITPC dan Atdag tapi belum bekerja optimal dan dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh eksportir, bahkan di kondisi normal sekalipun. Dalam kondisi seperti ini, Atdag dan ITPC harus berperan besar untuk memberikan informasi mendetail di negara operasional mereka terkait kebutuhan produk yang bisa dipenuhi oleh produsen Indonesia.
Produsen Indonesia perlu mengetahui apa saja perubahan permintaan di negara mitra semasa dan seusai pandemi ini.
Terlebih, program misi dagang pada tahun ini mengalami hambatan lantaran para eksportir Indonesia dan importir negara mitra tak bisa bertemu secara normal. Satu-satunya cara tentu melakukan pertemuan atau business matching secara virtual.
Namun bagaimana bisa pertemuan bisnis secara virtual bisa berjalan maksimal apabila informasi terkait kondisi pasar dan konsumen di negara mitra tidak didapatkan secara detail? Tentu hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dalam membantu pengusaha untuk bangkit lagi dan bersiap untuk melesat di masa depan.