Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Faisal Basri Ingatkan, Rupiah Menguat Bukan karena Penanganan Covid-19

Faisal mengatakan, surat utang global yang masuk tersebut berupa valuta asing (valas), yang kepemilikannya 100 persen asing.
Karyawan menunjukan uang dolar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Senin (18/5/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menunjukan uang dolar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Senin (18/5/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menilai penguatan rupiah yang terjadi dalam beberapa hari terakhir tidak ada kaitannya dengan sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah  terkait penanganan pandemi Covid-19 di dalam negeri.

"Jadi harus diingat bahwa rupiah menguat adalah refleksi dari pasokan dolar yang meningkat luar biasa masuk ke Indonesia dari utang global bonds. Tidak ada hubungannya dengan penanganan (pandemi Covid-19) buruk atau tidak," kata dia dalam diskusi virtual Indef, Rabu (10/6/2020).

Faisal mengatakan, surat utang global yang masuk tersebut berupa valuta asing (valas), yang kepemilikannya 100 persen asing. Selain itu, juga berasal dari penerbitan surat utang (SUN) dalam bentuk denominasi rupiah dengan bunga yang tinggi.

"Pemerintah itu mengeluarkan surat utang dari denominasi rupiah bunganya tinggi sekali 7 persen - 8 persen," ujar Faisal Basri.

Banyaknya modal asing yang masuk ke Indonesia tersebut disebabkan oleh likuiditas di sejumlah negara menyusul terbitnya kebijakan quantitative easing dengan nilai ratusan triliun rupiah.

"Lalu mereka masuk ke Indonesia membeli surat utang pemerintah karena bunganya, tapi bukan untuk tujuan jangka panjang," ucap Faisal.

Menurut dia, sampai dengan Desember 2019, Indonesia adalah negara tertinggi di dunia yang local currency-nya dimiliki oleh asing dengan porsi sebesar 38,7 persen. Hal ini berbeda dengan Jepang, yang utang pemerintahnya lebih besar namun dipegang oleh masyarakatnya sendiri.

Faisal menilai, kejadian seperti ini akan tak berlangsung lama dan berbahaya bagi kesehatan likuiditas sistem keuangan nasional. Pasalnya, dengan penerapan new normal yang mulai berjalan, efeknya baru akan dirasakan bulan depan.

Pada saat itulah, kata Faisal, asing akan menjual kembali bonds yang dia pegang. 

"Dan nanti Bank Indonesia (BI) harus turun tangan. Nah, keluarlah cadangan devisa (untuk mencukupi likuiditas)," ucapnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto menilai cara pemerintah dalam penanganan Covid-19 yang prudent dan berbasis data diapresiasi positif oleh pasar. Hal itu tercermin dari nilai tukar rupiah yang terus menguat dan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sempat menyentuh level 4.950.

"Apa yang kita lihat di mana nilai tukar rupiah sudah di bawah Rp 14.000 per dolar AS dan indeks harga saham yang naik menunjukkan apa yang dilakukan pemerintah dan Gugus Tugas berada pada jalur yang tepat,” kata Airlangga, melalui keterangan tertulis, Jumat (5/6/2020).

Walau nilai tukar maupun indeks akan berfluktuasi, Airlangga mengatakan, dengan cadangan devisa di Bank Indonesia yang mencapai US$ 130 miliar, menunjukkan adanya kepercayaan yang kuat terhadap perekonomian Indonesia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Editor : Nancy Junita
Sumber : Tempo.Co
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper