Bisnis.com, JAKARTA — Produsen alat pelindung diri atau APD mulai merasakan penyerapan yang menurun di tengah kasus positif virus corona (Covid-19) di Tanah Air yang tak kunjung melandai.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi mengatakan meski penurunan belum terdata secara angka tetapi banyak produsen sudah mengeluhkan hal tersebut. Bahkan eluhan ini tak hanya datang dari industri mennegah kecil tetapi juga dari produsen besar seperti Sritex.
"Tadinya kami euforia untuk mengembangkan kelangkaan APD ini tetapi sekarang malah menumpuk di gudang produknya. Dari UKM sampai industri mengeluh produknya tidak diserap pemerintah," katanya kepada Bisnis, Senin (18/5/2020).
Rusdi mengemukakan minggu lalu industri memang dikesalkan dengan adanya impor 1 juta APD dari Korea Selatan. APD itu masuk satu paket dengan berbagai hasil belanja pemerintah untuk penanganan covid-19 termasuk PCR yang total menghabiskan dana US$50 juta.
Menurut Rusdi, angka itu setara dengan Rp1 triliun yang jika difokuskan pada belanja APD dalam negeri akan cukup membantu industri tekstil dan produk tekstik (TPT) yang saat ini sedang susah.
Rusdi menyebut satgas Covid-19 saat ini mencatat kebutuhan untuk APD sekitar 19 juta paket sebulan. Jika dikali untuk setahun ke depan, maka di dalam negeri hanya membutuhkan 228 paket APD. Sementara saat ini APD yang tersedia hasil produsen lokal sudah mencapai 600 juta paket.
Baca Juga
"Untuk kapasitas garmen kita sekarang 2,5 miliar ton sementara untuk APD hanya diserap 600 juta, artinya hanya sekitar 9 persennya. Ini kecil untuk industri, jadi untuk kue yang kecil ini saja tidak bisa diperjuangkan dan harus terganggu impor," ujarnya.
Dari segi kualitas, Rusdi mengatakan saat ini Kementerian Kesehatan memang mempersyaratkan bahan baku spunbond non woven yang diduga agar impor dapat masuk dengan leluasa.
Namun, bahan APD berbahan baku woven atau kain tenun yang tersedia dari produsen lokal telah dites di lab uji Balai Besar Tekstil (BBT) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan hasilnya sudah memenuhi standar pakaian hazmat dan gown dari Dewan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Selain itu, bahan APD yang dikembangkan bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harganya terjangkau serta aman dan nyaman dikenakan.
Sementara itu, berdasarkan pengkajian keahlian tekstil di IKATSI, untuk aspek penyerapan air dan darah, bahan woven dan non woven kemampuannya sama karena menggunakan teknologi coating atau laminasi yang sama.
Meski begitu, bahan woven lebih tahan sobek, lentur dan breathable dibandingkan dengan bahan non woven sehingga Iebih aman dan nyaman ketika dipakai oleh tenaga kesehatan.
Rusdi menjelaskan bahwa kapasitas produksi non woven nasional yang bisa disuplai ke APD hanya untuk sekitar 1 juta potong perbulan. Sementara itu, kemampuan suplai bahan woven bisa lebih dari 375 juta potong APD perbulan.
Sementara itu, Rusdi menyebut, secara total utilisasi industri garmen hanya berkisar 10 persen atau 250 juta dari 2,5 miliar karena adanya penurunan konsumsi.