Bisnis.com, JAKARTA — Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) kembali mengeluhkan importasi produk alat pelindung diri atau APD.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi menyebutkan mafia impor kembali berulah, mereka berhasil melakukan penetrasi Iobi untuk memasukan barang impor sehingga kembali membuat industri TPT nasional gigit jari.
Padahal, Rusdi menjelaskan bahwa kapasitas garmen dan industri kecil dan menengah konveksi yang mencapai 2,5 juta ton pertahun atau sekitar 600 juta potong perbulan mampu memenuhi kebutuhan APD terutama pakaian hazmat dan gown yang diperkirakan mencapai 10 juta potong perbulan.
"Bahkan untuk bahan baku dari kain, benang hingga seratnya juga bisa kami penuhi dari dalam negeri yang kapasitasnya rata-rata di atas 2,5 juta ton pertahun," katanya melalui siaran pers, Sabtu (16/5/2020).
Menurut Rusdi, saat ini Kementerian Kesehatan mempersyaratkan bahan baku spunbond non woven agar impor dapat masuk dengan leluasa. Padahal, bahan APD berbahan baku woven atau kain tenun yang tersedia telah dites di lab uji Balai Besar Tekstil (BBT) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan hasilnya sudah memenuhi standar pakaian hazmat dan gown dari Dewan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Selain itu, bahan APD yang dikembangkan bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harganya terjangkau serta aman dan nyaman dikenakan.
Baca Juga
Sementara berdasarkan pengkajian keahlian tekstil di IKATSI, untuk aspek penyerapan air dan darah, bahan woven dan non woven kemampuannya sama karena menggunakan teknologi coating atau laminasi yang sama.
Namun, bahan woven lebih tahan sobek, lentur dan breathable dibandingkan dengan bahan non woven sehingga Iebih aman dan nyaman ketika dipakai oleh tenaga kesehatan.
"[Bahan] woven harganya jauh lebih murah, karena non woven spunbond menggunakan bahan polyprophilene yang harganya naik hampir dua kali lipat karena digunakan juga sebagai bahan baku masker," ujar Rusdi.
Rusdi menjelaskan bahwa kapasitas produksi non woven nasional yang bisa disuplai ke APD hanya untuk sekitar 1 juta potong perbulan. Sementara itu, kemampuan suplai bahan woven bisa lebih dari 375 juta potong APD perbulan.
"Makanya jangan kaget kalau banyak produsen maksa untuk ekspor APD karena stok di lokal banyak dan kalau ada produsen lokal yang klaim bisa suplai APD dari non woven Iebih dari 1 juta perbulan, harus diteliti lagi, karena pasti campur dengan APD impor. Itu calo berkedok produsen yang punya izin produksi, izin edar sekaligus izin impor," kata Rusdi.
Dia mengklaim kondisi ini sebagai jawaban dari pertanyaan ketergantungan RI alat kesehatan impor karena memang produsen lokal selalu dipojokkan oleh barang impor sehingga produsen enggan untuk melakukan produksi dan memilih menutup pabriknya.
Rusdi berharap begitu kuatnya penetrasi para mafia impor ini seharusnya jadi perhatian penegak hukum seperti kasus 27 kontainer tekstil di Batam.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengonfirmasi bahwa pihaknya memproduksi APD khususnya pakaian hazmat dan gown atas arahan BNPB terkait standarnya agar memenuhi kriteria WHO.
Anggota APSyFI menyuplai serat, benang, hingga kain woven, sedangkan anggota Asosiasi Perteksman Indonesia (API) memproduksi kain dan garmennya.
"Jadi dengan arahan dari BNPB, dari hulu ke hilir langsung kami kerjakan pembuatan APD sesuai standar WHO, karena kami dengar tenaga medis di lapangan kekurangan APD. Terlebih di gudang gudang kami banyak stok kain dan benang jadi pengerjaannya lebih cepat," ujar Redma.
Saat ini beberapa anggota API dan APSyFI merasa kecewa karena pemerintah tidak menyerap produk APD yang mereka hasilkan dengan alasan memprioritaskan bahan non woven spund bond yang merupakan produk sekali pakai.
Padahal, di tengah pandemi Covid-19 ini, produksi APD bisa membantu kondisi keuangan perusahaan terutama untuk membavar gaji karyawan, walau pun ini hanya sekitar 3-5 persen dari total produksi yang biasa dilakukan dalam keadaan normal.
Di balik produksi APD ini juga ada ribuan tenaga kerja dan puluhan perusahaan yang terlibat. Redma menyebut 10 juta potong APD perbulan itu dikerjakan oleh 15.000 orang di garmen. Lalu, 10.000 pekerja memproduksi 30 juta meter kain, dan 7.000 pekerja menghasilkan 2.500 ton benang clan.
Lalu, 5.000 pekerja memproduksi 2.500 ton serat sehingga totalnya 37.000 tenaga kerja terlibat dalam produksi APD dari sekira 20 perusahaan.
"Kalau [kebutuhan APD] dipenuhi oleh impor, berapa tenaga kerja yang terlibat? Berapa devisa yang terbuang?" ujar Redma.