Bisnis.com, JAKARTA -- Aliansi Pangan Laut Berkelanjutan Indonesia mengungkapkan kerugian yang dialami pekerja rantai pasok pangan laut akibat pandemi Covid-19. Di saat permintaan tinggi, upah yang diberikan kepada mereka masih di bawah kelayakan.
Aliansi Pangan Laut Berkelanjutan Indonesia (APLBI) yang terdiri dari Institut Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) menemukan sejumlah keluhan dari pekerja rantai pasok pangan. Pasalnya kerugian tak terhindarkan sebagai akibat dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Domin Dharmayanti salah satu peneliti dari APLBI menceritakan kisah seorang buruh perempuan pabrik pengalengan ikan di Muncar, Banyuwangi yang merasakan dampak menyedihkan tersebut.
Sebut saja Iis, dia mengungkapkan selama pandemi Covid 19, pabrik tempat dia bekerja terus berproduksi hinfga mengalami peningkatan hingga. Tak terhindarkan, Iis dan teman-temannya pun harus bekerja lembur.
Iis bekerja dari jam 07.00 sampai 21.00. Selama 13 jam bekerja, dia hanya memperoleh upah Rp74.000 per hari. Upah ini sangat jauh di bawah aturan ketenagakerjaan.
Dengan UMK Banyuwangi sebesar Rp92.571 per hari, Iis seharusnya menerima upah Rp246.406 per hari termasuk upah lembur 5 jam.
"Perusahaan telah melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 90 ayat 1tentang upah minimum dan pasal 78 ayat 1 tentang waktu kerja dan lembur," ujar Domin dalam sebuah webinar beberapa waktu yang lalu.
Domin menegaskan, perusahaan tempat Iis bekerja memiliki sekitar 300 orang perempuan buruh.
Berdasarkan hasil kajian APLBI pada 9 perusahaan di Muncar, Banyuwangi, Surabaya, Sidoarjo, dan Kendari, ada 7 dari 9 perusahaan membayar upah buruhnya di bawah UMK setempat.
Pada April 2020, APLBI pun melakukan kajian kondisi dan dampak pandemi Covid-19 pada pekerja di rantai pasok pangan laut di Indonesia.
Dalam kajian itu, ada 23 reponden dari kluster pekerja pada bagian pengolahan ikan, nelayan tradisional, Anak Buah Kapal Tangkap Ikan, dan pekerja di tambak, yang merepresentasikan kondisi kurang lebih 3000 orang pekerja di rantai pasok oangan laut.
Responden berasal dari Banyuwangi, Surabaya, Sidoarjo, Kendari, dan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
APLBI menemukan hasil yang mengejutkan yakni pekerja pada rantai pasok pangan laut, baik pekerja di sektor perusahaan pengolahan makanan hasil laut dan udang, nelayan, pelaut anak buah kapal tangkap ikan, dan petambak dari wilayah Muncar Banyuwangi, Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, Kendari dan Lombok berada dalam kondisi yang rentan terpapar Covid-19.
Tak hanya itu, para pekerja ini memperoleh hasil atau pendapatan yang jauh lebih rendah dibandingkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam rantai nilai industri pangan laut.
Domin memerinci, sebanyak 2.230 atau 81,7 persen pekerja di bagian pengolahan ikan memperoleh upah jauh di bawah UMK.
Perusahaan juga tidak sepenuhnya menerapkan protolol pencegahan penularan Covid-19 di lingkungan perusahaan yang menjelaskan seharusnya ada 12 item perlindungan.
Rata-rata, perusahaan hanya menjalankan 7 dari 12 fasilitas yang dimandatkan dalam Surat Edaran Menteri Perindustrian Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik Dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019.
Ratusan nelayan dan pelaut anak buah kapal memperoleh pendapatan lebih rendah, di masa pandemi Covid-19, yaitu turun 50 persen.
Nelayan dan pelaut anak buah kapal juga belum memiliki kesadaran dan perilaku mencegah penularan Covid-19 dengan menggunakan masker, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak di area pasar ikan dan pelelangan ikan.
Pemerintah juga dinilai belum secara masif melakukan edukasi dan menyiapkan fasilitas cuci tangan (wastafel), penyemprotan disinfektan dan edukasi di area pelabuhan.
Alhasil pekerja di rantai pasok pangan laut yang terdampak Covid-19 dan mengalami penurunan atau bahkan hilangnya pendapatan, belum sepenuhnya memperoleh dan bisa mengakses bantuan sosial dari pemerintah pusat maupun daerah.
"Kondisi yang rentan dan memprihatikan yang terjadi pada pekerja rantai pasok pangan laut, berbanding terbalik dengan kondisi industri perikanan yang justru mengalami peningkatan permintaan dan penawaran," terang Domin.
Terbukti saat Badan Pusat Statistik merilis neraca perdagangan hasil perikanan Indonesia mencapai US$387,84 miliar pada Maret 2020, angka ini meningkat 3,59 persen dibanding Februari 2020.
Nilai ekspor hasil perikanan sebesar US$427,71 juta pada Maret 2020 dengan hasil 105.200 ton.
Domin menegaskan, APLBI mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan kebijakan yang telah disusun dan melindungi kesehatan serta keselamatan kerja.
Pemerintah juga harus menjamin pemenuhan hak-hak dasar pekerja di rantai pasok pangan laut.
Kementerian Ketenagakerjaan berkewajiban memastikan pekerja di sektor pengolahan makanan hasil laut dan perikanan memperoleh upah minimal sesuai UMK setempat dengan jam kerja yang sesuai aturan ketenagakerjaan.
"Pemerintah harus menindak tegas perusahaan yang melanggar aturan sebagai upaya untuk penegakan hukum. Selain itu, mewajibkan perusahaan yang merumahkan pekerjanya untuk membayar secara penuh," sambung Domin.
Kementerian Kelautan dan Perikanan wajib melaksanakan semua program kebijakan kelautan dan perikanan, khususnya untuk nelayan dan pelaut tangkap ikan.
Upaya menyerap semua hasil tangkapan ikan nelayan dan pelaut bisa dilaksanakan dengan menjalankan beberapa kewajiban.
Pertama, membeli dengan harga yang layak.
Kedua, menerapkan kebijakan Sistem Resi Gudang.
Ketiga, menyediakan pengadaan cold storage untuk penyimpanan ikan hasil tangkapan.
Keempat, mengendalikan harga dengan menentukan harga minimum.
Kelima, memastikan distribusi logistik bahan baku dari nelayan dan pelaut lancar sampai tingkat pengolahan dan konsumen.
Keenam, menjalankan program Siaga Nelayan di tingkat pelabuhan dan pasar perikanan.
Kementerian Perindustrian juga wajib memastikan perusahaan yang masih beroperasi untuk menerapkan protokol pencegahan penyebaran Covid-19 dengan menerapkan semua standar 12 fasilias yang harus disediakan oleh perusahaan.
"Upaya percepatan penangananan dan pengendalian Covid-19, hanya dapat dilaksanakan apabila keteladanan disiplin juga dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah disusun," terang Domin.