Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemulihan Impor Bahan Baku dan Penolong Bergantung pada Landainya Kurva Pandemi

Total impor Indonesia tercatat mencapai US$51,71 miliar sepanjang Januari-April 2020, turun 7,78 persen secara tahunan. Hal ini disebabkan lesunya kinerja industri manufaktur akibat pandemi virus corona.
Kapal kargo bersandar di dermaga Pelabuhan Makassar New Port (MNP), Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (25/3/2019)./Bisnis-Paulus Tandi Bone
Kapal kargo bersandar di dermaga Pelabuhan Makassar New Port (MNP), Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (25/3/2019)./Bisnis-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA — Adanya pelonggaran pembatasan sosial di sejumlah wilayah menjadi sinyal bahwa kurva pandemi virus corona mulai melandai. Impor bahan baku/penolong dan barang modal Indonesia pun diprediksi bisa meningkat jika kurva sudah benar-benar flat, sehingga dapat mengerek kembali jalannya industri manufaktur.

Total impor Indonesia tercatat mencapai US$51,71 miliar sepanjang Januari-April 2020, menurun 7,78 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019, yang senilai US$56,07 miliar.

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menuturkan penurunan impor bahan baku/penolong pada 4 bulan pertama 2020 cukup wajar mengingat industri dalam negeri, khususnya manufaktur, tidak berjalan seperti sedia kala di tengah pandemi virus corona.

Menurutnya, sejauh ini industri hanya sanggup memenuhi sekitar 30 persen dari kapasitas permintaan karena ada pembatasan mobilitas yang berdampak pada perekonomian di beberapa bulan terakhir. Kembali pulihnya industri dalam negeri disebut tergantung pada kapan kurva pandemi kembali flat.

“Yang patut disyukuri adalah kita masih surplus, dibandingkan tahun lalu kita jauh lebih baik. Saya rasa ini prestasi oleh Kementerian Perdagangan, dan kalau melihat tekornya pun enggak terlalu banyak,” kata Fithra, Jumat (15/5/2020).

Jika pelemahan industri masih berlanjut hingga Juni 2020, maka masih ada optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi nasional setidaknya dapat mencapai 1-2 persen. Tetapi, sambungnya, jika situasi ini berlangsung sampai September 2020, maka bukan tak mungkin ekspor Indonesia akan minus hingga 18 persen untuk skenario berat atau bahkan minus 25 persen untuk skenario sangat berat. 

Sementara itu, Fithra menuturkan pascapandemi, kekuatan China sebagai ekonomi terbesar mulai diragukan karena masih adanya risiko yang tinggi. Sehingga, pelaku usaha di dunia akan melebarkan portofolionya ke negara lain.

Sebagai contoh, AS ingin merelokasi industri farmasinya dari China. Ini merupakan peluang bagus jika pada akhirnya AS merelokasi industri farmasinya ke Indonesia.

“Kalau melihat pembicaraan lain, Pak Luhut [Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan] bilang bahwa AS ingin merelokasi industri farmasinya dari China. Ini menarik karena akan jadi stimulus industri dalam negeri karena industri farmasi adalah industri yang akan memimpin usai pemulihan Covid-19. Industri ini akan jadi primadona dan multiplier effect-nya akan lebih besar dan menggerakkan bisnis lainnya," terangnya.

Selain itu, masuknya AS bakal menjadi sinyal positif dan menarik industri negara lain untuk berinvestasi di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper