Bisnis.com, JAKARTA - Pembayaran kurang bayar dana bagi hasil (DBH) tidak perlu mengunakan hasil pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hal tersebut ditegaskan oleh Kepala BPK Agung Firman Sampurna dalam media workshop, Senin (11/5/2020).
"Penting ditegaskan tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai landasan pembayaran DBH," ujar Agung.
Menurutnya, BPK hanya melakukan tugas sebagai pemeriksa keuangan negara dan Kementerian Keuangan sebagai pengelolaan keuangan negara.
Agung menambahkan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Keuangan Negara serta aturan pemeriksaan keuangan negara dan perbendaharaan negara yang berlaku tidak menunjukkan adanya pernyataan yang mengatur pembayaran kewajiban DBH harus menunggu hasil audit.
Namun, Agung enggan mengomentari peraturan menteri keuangan pada 2019 terkait dengan pencairan DBH. "Saya tidak mengomentari soal itu."
Baca Juga
Dia menuturkan BPK telah mengirimkan surat resmi kepada Menkeu pada 28 April 2020 terkait dengan pembayaran DBH tersebut.
Seperti diketahui, pembagian DBH untuk tahun 2019 pada prinsipnya cash basis. Artinya, pemerintah bisa membagikan DBH tersebut tidak tergantung hasil audit. Namun, setelah ada audit bisa diperhitungkan kurang atau lebih bayarnya kemudian.
Kisruh pembayaran kurang bayar DBH ini bermula ketika Gubernur Anies Baswedan meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mencairkan dana tersebut agar pemerintah DKI Jakarta dapat memanfaatkan DBH itu untuk penanganan Covid-19.
Atas kisruh tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memutuskan untuk menyalurkan separuh dari kurang bayar kepada DKI Jakarta dan seluruh pemda di Indonesia.
Dia menuturkan sebanyak Rp2,58 triliun atau 50 persen dari total kurang bayar DBH 2019 sebesar Rp5,16 triliun telah diberikan kepada pemerintah DKI Jakarta.
"Sisanya dari DBH 2019 akan diserahkan setelah audit BPK," tegas Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Jumat (8/5/2020).
Lebih rinci, DBH DKI Jakarta sendiri sebesar Rp5,16 triliun terdiri dari sisa kurang bayar 2018 sebesar Rp19,35 miliar dan potensi kurang bayar 2019 berdasarkan hasil prognosa sebesar Rp5,16 triliun.