Bisnis.com, JAKARTA – Setelah penantian yang sangat panjang, akhirnya pembahasan revisi Undang Undang No. 4/ 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) berakhir.
Hanya saja, pembahasan revisi UU Minerba telah dilakukan sejak 2016. Untuk diketahui, revisi atas UU Minerba ini merupakan hasil inisiatif DPR periode 2014 hingga 2019 lalu di dialihkan pada DPR periode 2019 - 2024.
Pembahasan RUU Minerba ini terbilang cepat. Pada 13 Februari 2020, pemerintah dan DPR membentuk tim panitia kerja (Panja) untuk membahas sebanyak 938 Daftar Isian Masalah (DIM). Dari m jumlah 938 DIM tersebut sebanyak 235 DIM disepakati dengan rumusan tetap sehingga langsung disetujui, dan ada 703 DIM yang dibahas dalam Panja.
Tim Panja RUU Minerba pemerintah bersama dengan Tim Panja RUU Minerba DPR RI membahas DIM RUU Minerba mulai tanggal 18 Februari 2019 hingga 11 Maret 2020.
Dari pembahasan yang telah dilakukan Tim Panja RUU Minerba, diperoleh hasil bertambahnya 2 bab, 51 pasal ditambah, 83 pasal diubah dan 9 pasal dihapus sehingga total perubahan pasal berjumlah 143 pasal dari 217 pasal.
Hari ini, Komisi VII DPR RI melakukan pembahasan tingkat 1 RUU Minerba bersama dengan tim pemerintah yakni Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Keuangan. Sayangnya, hanya Menteri ESDM saja yang hadir dalam rapat tersebut, sedangkan kementerian lainnya tak dihadiri oleh menteri atau diwakilkan.
Baca Juga
Setelah pembacaan naskah RUU Minerba setebal 92 halaman yang dilakukan pimpinan rapat komisi VII secara bergantian, kesembilan fraksi menyampaikan pendapat akhir mini fraksi atas RUU tersebut.
Dari 9 fraksi tersebut, hanya Fraksi Partai Demokrat yang tidak sepakat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menarik diri untuk memperbarui pandangannya menjadi setuju dengan catatn, sedangkan ketujuh fraksi lainnya setuju dengan naskah RUU Minerba dilanjutkan ke tingkat selanjutnya.
Rapat yang berlangsung selama 7 jam sejak pukul 10.00 hingga pukul 17.40 WIB berlangsung alot sebelum dilakukan pengetokan palu untuk naik ke tingkat kedua tahap Badan Musyawarah (Bamus) dan semakin dekat untuk disahkan menjadi UU.
Adapun perdebatan terjadi terkait kewajiban membangun pengolahan pemurnian bijih atau smelter dan divestasi 51 persen.
Pada pasal 102, kewajiban membangun smelter bagi penambang yang sebelumnya diusulkan berdasarkan peningkatan nilai ekonomi dan kebutuhan dalam negeri diganti menjadi kebutuhan pasar.
Lalu untuk poin divestasi 51 persen, pemerintah meminta agar frasa secara langsung dalam pasal 112 ini dihapus dan digantikan secara berjenjang.
Adapun pasal tersebut berbunyi Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada tahap kegiatan operasi produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham secara langsung sebesar 51 persen secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, badan usaha milik daerah, dan/atau Badan Usaha swasta nasional.
Ketua Panja RUU Minerba Bambang Wuryanto mengungkapkan pada awalnya, pemerintah meminta angka 51 persen divestasi ini dihilangkan dari UU. Hal itu ditolak oleh tim panja DPR RI sejak rapat pertama kali.
"Ketika dilakukan harmonisasi, pemerintah tetap meminta hal yang sama, tetap kami tolak. Pemerintah sekarang melunak, divestasi tetap 51 persen tetapi izin, berjenjang pemberiannya. Jadi 51 persen one day," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan usulan pemerintah pada pasal 112 badan usaha pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham secara berjenjang sebesar 51 persen kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMN, badan usaha swasta nasional.
"Ini untuk menarik investasi dalam negeri, batu bara kedepannya akan mengalami tantangan yang sangat berat kenapa? Tak ada lagi lembaga pendanaan yang mau biayai power plan, kami siasati hilirisasi ke sintensis gas untuk pupuk, petrochemical dan lainnya. Ini dilakukan China sudah konsumsi 800 juta ton per tahun batu bara untuk hasilkan produk petrochemical. Kalau divestasi 51 persen secara langsung, untuk hilirisasi jauh lebih besar dari power plan sehingga kami inginkan berjenjang," terangnya.
Adapun yang dimaksud dengan waktu berjenjang artinya bertahap waktu dan kemampuan pemerintah atau badan usaha membeli saham, sesuai situasi dan kondisi saat itu. Namun demikian, tak ada pengaturan waktu atau berapa lama divestasi 51 persen berjenjang ini dilakukan. Pasalnya, tak bisa mematok berapa lama waktu bisa dilakukan divestasi sebesar 51 persen.
"Saya enggak bisa bayangkan berapa lamanya, kita harus realistis, orang investasi baru akan lihat return kapan, nilai keekonomian pada berapa, IRR (Internal rate of return) cepat atau lambat, ini kita lihat mereka investasi akan memberikan proposal mengenai berapa yang akan diinvestasikan dan pada saat itu kita menyatakan Anda wajib lakukan divestasi di tahun sekian," tutur Arifin.