Bisnis.com, JAKARTA - Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel penulis sebelumnya berjudul "Menjaga Likuiditas di Era Pandemi" di harian ini edisi 13 April 2020 yang membahas pentingnya menjaga likuiditas perusahaan dan lembaga keuangan agar tidak berkembang menjadi krisis ekonomi.
Dalam artikel kali ini, penulis berupaya mengulas dampak pandemi terhadap ekonomi dan bagaimana menjaga perekonomian Indonesia secara keseluruhan mengingat dampak pandemi kian membebani perekonomian nasional. Hal ini antara lain terlihat dari semakin banyak pekerja formal yang menjadi korban PHK, semakin banyak sektor usaha yang terdampak, dan semakin besar tekanan terhadap sektor keuangan.
Karena itu saat ini kita menghadapi setidaknya dua front tantangan yang mendesak diatasi. Pertama, penanganan kesehatan masyarakat. Hal ini sangat penting dan perlu didukung all-out, karena menyangkut keselamatan warga dari virus Corona yang mematikan ini. Kedua, penanganan perekonomian nasional yang terdampak pandemi. Intinya, memberikan life support kepada perorangan, pengusaha UMKM dan juga usaha besar agar tetap dapat bertahan.
Penulis menyambut baik upaya pemerintah membantu warga yang terdampak seperti para pengemudi ojek online tapi tentu tidak cukup, karena pada akhirnya yang terdampak adalah semua pekerja di hampir semua sektor ekonomi. Begitu pula stimulus berupa relaksasi terhadap sektor usaha seperti perhotelan dan industri pariwisata serta lembaga keuangan, perlu diperluas ke semua sektor usaha, karena cepat atau lambat, baik UKM maupun usaha besar akan terdampak.
Perekonomian suatu negara tercipta dari rantai aktivitas yang saling terhubung satu sama lain. Dengan adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) aktivitas transaksi keuangan pun anjlok drastis, setidaknya 40%--60%, karena banyak orang kehilangan pendapatan dan banyak perusahaan berhenti beroperasi. Dalam sebuah perekonomian negara, pemerintah adalah pelaku belanja terbesar (the biggest spender), terutama saat ini ketika pandemi. Paket stimulus pun digelontorkan.
Pemerintah AS misalnya, menyediakan bantuan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki pekerja di bawah 500 orang berupa pay-cheque protection program hingga US$10 juta untuk menjamin agar tak terjadi PHK karyawan. Di Italia, pembayaran pajak ditunda hingga totalnya mencapai 10% PDB. Di Jerman, pemerintahnya bersedia membeli saham-saham perusahaan yang terkena krisis, kemudian membayar gaji karyawan perusahaan tersebut dan mendapatkan return di kemudian hari.
Penulis berupaya mengajukan pandangan dalam upaya menjaga roda perekonomian nasional tetap berjalan. Pertama, kebijakan relaksasi kepada para pelaku ekonomi UKM dan pengusaha besar belum cukup, karena yang dibutuhkan adalah kucuran likuiditas segar atau kredit baru untuk membayar biaya operasional rutin, termasuk menggaji karyawan selama masa pandemi agar tidak terjadi PHK.
Pemerintah diharapkan dapat segera memberikan stimulus kredit lunak, misalnya hingga Rp10 miliar kepada mereka tanpa jaminan tambahan, selama dua tahun, yang disalurkan melalui bank-bank sehat berdasarkan analisa kredit yang prudent. Kedua, perbankan terutama bank-bank Buku IV dapat menyiapkan skema penempatan dana stimulus dari pemerintah tersebut sebagai salah satu sumber dana murah. Asumsinya, pemerintah menetapkan dana stimulus di bank dengan bunga 3% per tahun selama 3 tahun. Bank kemudian melakukan blended dengan dananya sendiri dan mengucurkan kredit lunak baru ke pengusaha dengan bunga 6%--9% per tahun selama 2 tahun.
Angka yang tidak sulit dipikul dunia usaha. Dana stimulus ini bukan hibah. Ketiga, bank dapat melakukan terobosan kreatif tanpa meningkatkan risiko kredit, misalnya terhadap debitur perorangan maupun perusahaan yang selama ini membayar lancar angsuran pinjaman sebelum masa pandemi Covid-19. Keempat, dalam hal bantuan kepada perorangan atau korban PHK, pemerintah dapat memberikan hibah dengan mentransfer uang langsung ke rekening mereka di bank untuk membeli kebutuhan pokok bulanan.
Menurut data Susenas 2018, rata-rata belanja kebutuhan pokok penduduk per bulan berkisar Rp1,5 juta--Rp2 juta. Kita ambil saja nominal Rp1,5 juta per bulan per kepala keluarga. Jika ada sekitar 30 juta warga korban PHK, setidaknya pemerintah perlu mengeluarkan stimulus Rp45 triliun per bulan. Selama 6 bulan saja dibutuhkan dana Rp270 triliun. Memberi dana langsung ke rekening warga di bank jauh lebih efektif daripada pemberian berupa barang yang rawan kebocoran.
Kelima, teknis penyalurannya dapat melibatkan perbankan dan juga fintech P2P Lending yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Dengan teknologi big data analytics, pemerintah dapat bekerjasama dengan fintech dalam memproses penyaluran dana secara online. Data-data warga terdampak yang berada di luar ekosistem perbankan dan fintech dapat diinventarisasi berdasarkan data-data demografi dan spasial yang ada di pemerintah melalui organ-organ pemerintah seperti camat, dinas kependudukan, catatan sipil, dan sebagainya.
Bukan kapasitas penulis untuk dapat menghitung secara detail kebutuhan dana stimulus dalam 6 bulan mendatang. Namun estimasi yang diajukan Kadin Indonesia menyebutkan angka Rp1.600 triliun, hampir 10% dari PDB Indonesia. Sebuah referensi yang masuk akal, karena negara-negara lain menggelontorkan dana stimulus berkisar 10%--20% PDB.
Akhir kata, the small numbers add-up the big numbers. Kadin Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia, termasuk perbankan, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia kiranya dapat menjadi referensi pemerintah dalam melihat kondisi sektor riil. Kondisi mikro ekonomi juga perlu mendapat perhatian yang sama.
Dengan memberikan life support seperti diulas sebelumnya maka the economy can take care by itself dan tak ada satu pun pelaku ekonomi yang selama ini telah menopang ekonomi nasional terlewat dari upaya penyelamatan yang bersejarah ini. Semoga!