Bisnis.com, JAKARTA - Exxon Mobil Corp dan Chevron Corporation masih melanjutkan komitmen menjalankan program antisipasi perubahan iklim meski harga minyak dunia terperosok dalam.
Walaupun sekilas, kedua raksasa minyak tersebut menyebutkan inisiatif hijau dalam laporan atau presentasi pendapatan kuartal pertama mereka pada tahun ini.
Exxon mengumumkan kerangka model yang diumumkan sebelumnya untuk peraturan metana di seluruh industri, sementara Chevron mengatakan pihaknya berencana mempertahankan komitmennya terhadap prioritas lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan.
Chief Executive Officer Chevron Mike Wirth mengatakan berharap dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. "Kami akan terus mengurangi emisi gas rumah kaca kami terlepas dari Covid atau keadaan lain ini," katanya, pekan lalu.
Di sisi lain, Exxon dan Chevron setuju dengan tujuan Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Hanya saja, kedua perusahaan raksasa migas ini, belum mengalokasikan sebagian dari anggaran modal miliaran dolar mereka ke sumber energi rendah karbon.
Baik Wirth dan CEO Exxon Darren Woods mengatakan dunia akan membutuhkan lebih banyak minyak dan gas alam karena pertumbuhan ekonomi berlanjut setelah pandemi.
Dari sisi kinerja keuangan, Exxon Mobil Corporation mencatatkan kerugian sekitar US$610 juta pada kuartal I/2020. Perusahaan asal Amerika Serikat ini, berhasil memproduksi 4 juta barrel setara minyak atau tumbuh 2 persen dibandingkan dengan kuartal I/2019.
Dengan mempertimbangkan kondisi pasar, Exxon Mobil merevisi capex pada 2020 dari US$33 miliar menjadi US$23 miliar. "Covid-19 telah signifikan memengaruhi permintaan jangka pendek, membuat pasar yang kelebihan pasokan dan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada harga dan margin komoditas," tutur Woods, dalam keterangan resmi perusahaan.
Di sisi lain, Chevron Corporation melaporkan laba sebesar US$3,6 miliar pada kuartal I/2020. CEO Chevron Michael K Wirth mengatakan pendapatan naik didorong dengan margin bisnis hilir dan peningkatan produksi di Permian.
"Namun, harga komoditas turun secara signifikan pada Maret dan kelemahan berlanjut ke kuartal kedua, terutama karena berkurangnya permintaan akibat pandemi Covid-19," katanya.