Bisnis.com, JAKARTA - Industri alat kesehatan belakangan menjadi sorotan berbagai pihak mengingat ketidaksanggupannya dalam pemenuhan kebutuhan berbagai komponen khususnya untuk penanggulangan pandemi Covid-19 di Tanah Air.
Tak tanggung-tanggung Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pun menyebut industri alat kesehatan (alkes) saat ini didominasi oleh mafia-mafia dan trader yang menjebak pada kondisi short term policy. Alhasil, kemandirian sulit dilakukan dan 90 persen komponen bahan baku harus diimpor.
Tak berhenti disitu, dalam rapat virtual dengan DPR ada ungkapan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang juga seakan menguatkan pernyataan Menteri Erick.
Menurutnya, persoalan industri alkes sudah lama terjadi bahkan dia persis mengetahui sendiri saat berprofesi sebagai pengusaha. Mantan ketua umum Hipmi ini bahkan menuding ada kesengajaan yang mendesain agar tidak dibangun industri alkes di Tanah Air untuk kepentingan impor.
"Aku tahu betul permainan barang ini," katanya.
Atas tudingan pejabat negara tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan meminta klarifikasi khususnya pada Kementerian BUMN terkait dugaan mafia peralatan kesehatan.
Baca Juga
KPPU menyatakan khusus masker yang pernah mengalami lonjakan harga pernah dilakukan penelitian bahwa memang adanya permintaan yang tinggi dan tidak diimbangi dengan pasokan bukan praktik usaha yang tidak sehat.
Dikonfirmasi terkait hal di atas, Sekretaris Jenderal Gabungan Alat Kesehatan Indonesia (Gakeslab) Randy H. Teguh justru kebingungan siapa yang dimaksud mafia oleh para pejabat negara tersebut. Pasalnya, dia mengakui industri alkes memang belum memiliki struktur yang kokoh di dalam negeri.
"Saya bingung dengan analisa-analisa tersebut, kalau mau duduklah dengan kami, kami punya analisa industri ini sejak 10 tahun lalu. Upaya kami untuk meningkatkan produksi dalam negeri juga bukan baru lho sudah sejak 10 tahun lalu itu," katanya kepada Bisnis.com, Jumat (24/4/2020).
Randy pun mengemukakan hasil analisa asosiasi, pada 10 tahun terdapat hambatan utama yakni terkait soal perizinan. Namun, dia mengapresiasi pemerintah yang telah menjawab tantangan perizinan tersebut dengan Online Single Submission atau OSS.
Menurutnya, dulu dibutuhkan hingga tiga tahun untuk mendapat izin usaha di Inodnesia. Sementara dengan adanya OSS dan perbaikan sistem dari Kementerian Kesehatan maka saat ini perizinan sudah bukan masalah lagi atau dapat selesai bahkan kurang dari satu bulan.
Namun, di luar perizinan banyak sekali buntut persoalan investasi untuk industri alkes yang masih ditemui. Gakeslab bahkan menyebut masalah ini sebagai lingkaran setan.
"Sebenarnya ini perlu penjelasan panjang tetapi secara ringkas bisa dimulai dengan membuka pertanyaan pada industri alkes multinasional atau asing kenapa enggan membuka pabrik di sini malah pilih Vietnam atau Malaysia," ujar Randy.
Bahkan, lanjut Randy, ketika riuh perang dagang kemarin ada satu perusahaan dari Amerika Serikat yang mau mengalihkan produksinya di China untuk keluar dari sana. Ketika itu juga bertepatan dengan adanya reaksi Presiden Joko Widodo yang murka karena ada 30 perusahaan tetapi tidak ada satu pun yang mau ke Indonesia.
Randy mengaku pihaknya sempat menawari perusahaan alkes itu untuk masuk ke Indonesia. Sayangnya, lagi-lagi harus kalah dengan Vietnam karena hal simpel tetapi cukup menjadi PR untuk pemerintah.
Menurut Randy, yang pertama kali dikhawatirkan oleh industri alkes asing itu adalah tingkat kenaikan upah di Indonesia yang setiap tahun naik. Kemudian, terkait sistem produksi sistem pengadaan. Mereka mempertanyakan sistem pembelian oleh pemerintah yang saat ini melalui e-katalog.
Adapun e-katalog sendiri saat ini terbukti sudah hampir dua tahun tidak bisa diakses produk dalam negeri. Randy mengemukakan terakhir pembukaan penjualan di e-katalog pada april 2018. Akibatnya, hampir 60.000 item kesehatan yang ada kini hanya sekitar 20 persen yang masuk e-katalog hal itu juga sesui dengan data KPK tahun lalu.
"Jadi istilahnya kalau jalan tol sudah ada tetapi gerbang ditutup, pengusaha juga males dong apalagi produknya nanti tidak bisa dibeli," ujarnya.
Belum lagi, persoalan tekanan harga. Randy mencontohkan ketika produksi dilakukan di dalam tidak serta merta bisa dituntut untuk mendapat harga yang murah mengingat bahan baku yang digunakan juga harus melalui importasi.
Untuk itu, dalam investasi seharusnya ada komunitas mulai dari komunitas bahan baku, bahan kemas, pendukung, dan lainnya. Pada saat produksi pun, skala ekonomi untuk industri alkes belum luas sehingga harga menjadi masih tinggi, karenanya penting sekali dukungan dari pemerintah.
Sisi lain, saat ini ada sejumlah insentif yang digulirkan untuk investasi seperti tax holiday. Sayangnya, industri alkes ini industri yang nilainya kecil dan dianggap tidak menarik.
"Untuk mendapat tax holiday nilainya harus Rp500 miliar ke atas dan menyerap minimal 200 tenaga kerja. Sementara kami investasi dengan nilai Rp100 miliar itu sudah sangat besar biasanya hanya Rp30-Rp50 miliar dengan tenaga kerja 30 saja cukup," kata Randy.
Adapun, terkait ketahanan kesehatan yang dipersoalkan juga sebenarnya Gakeslab sudah berbicara mengenai hal ini dengan Kementerian Kesehatan sejak 5-10 tahun lalu.
Gakeslab bahkan sudah selalu menjalin kerjasama dengan Kemenkes supaya dapat secara perlahan meningkatkan komponen dalam negeri .
Randy pun menilai industri alkes sudah memiliki cukup banyak dan cukup baik regulasi yang harus dipenuhi. Untuk itu, dengan meluruskan setiap pelaku usaha pada jalur regulasi tersebut dipastikan tidak akan ada lagi permainan-permainan dalam industri ini.
"Contoh ketika memasukan produk dalam e-katalog itu LKPP sudah pasti mengetahui harga PIB yang juga tercatat di Bea Cukai. Jadi dibilang mafia saya bingung, malah harus ditanya siapa mafianya?"
Meski demikian, Randy menyebut minat investasi alkes di Tanah Air sampai saat ini masih banyak. Bahkan, Gakeslab juga pernah dikontak oleh BKPM terkait hal ini.
Prinsipnya, lanjut Randy, investasi untuk industri alkes lebih baik diarahkan pada penyedia bahan bakuk atau alat medis berteknologi tinggi seperti ventilator, CT-Scan, MRA. Sementara untuk produk yang simpel dan sudah bisa dikembangkan dalam negeri seperti saat ini ramai masker, APD sebaiknya tidak perlu lagi.
"Kalau mau investasi di sini tapi bikinnya kasa untuk apa? UMKM di Jawa Tengah sudah banyak yang bisa membuat kasa yang bagus," ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian melaporkan pada Januari-Februari 2020, pendaftaran izin usaha industri yang mengalami lonjakan sangat tinggi adalah industri hand sanitizer dan disinfektan dan industri Baju pelindung dan masker non-medis.
Izin edar untuk hand sanitizer meningkat dari 36 industri menjadi 103 industri atau 186 persen, serta izin edar APD yang berupa gown dari 3 industri menjadi 20 industri naik 567 persen hal itu berdasar data per Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes per 8 April 2020.
Pada Januari 2020 ada 65 perusahaan lokal dan 1 asing untuk sepatu boots karet yang melakukan investasi di Indonesia. Total nilai investasi 66 perusahaan tersebut Rp1,08 triliun. Sementara pada Februari hanya ada 40 perusahaan dalam negeri yang mengajukan minat investasi dengan nilai total Rp16,99 miliar.