Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat pangan menilai penerbitaan ketentuan mengenai penataan dan penyederhanaan importasi pangan dan sejumlah bahan baku lainnya dalam Peraturan Presiden nomor 58 tahun 2020, terlambat dilakukan dan berpotensi tidak efektif.
Pasalnya, saat ini gangguan pasokan pangan impor sejauh ini lebih banyak dipicu oleh kondisi negara pemasok alih-alih birokrasi di dalam negeri.
"Seharusnya bisa diantisipasi segera. Mestinya sejak awal karena sekarang situasinya negara-negara eksportir pangan hampir semua memberlakukan kebijakan yang mengganggu rantai pasok pangan," kata Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Pusat Khudori kepada Bisnis, Jumat (24/4/2020).
Dalam beleid yang diundangkan pada 14 April 2020 tersebut, persyaratan teknis yang mengiringi importasi produk-produk yang diatur, dapat ditangguhkan atau dikecualikan. Penangguhan ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah aspek yang meliputi kesehatan, keamanan, keselamatan, dan lingkungan.
Adapun keadaan yang dikategorikan dalam Perpres tersebut sebagai kondisi tertentu yakni kondisi kebutuhan mendesak atau harga yang melebihi tingkat kewajaran, kurangnya atau terbatasnya pasokan di dalam negeri atau internasional, serta hambatan lalu lintas perdagangan dan/atau terganggunya distribusi.
Khudori mengemukakan bahwa kapasitas produksi di dalam negeri cenderung tidak mengalami penurunan pada saat ini. Pada komoditas beras misalnya, dia mengatakan penurunan produksi pada tahun ini memang berpotensi menurun tapi tidak separah pada 2008 ketika terjadi krisis pangan.
Baca Juga
"Sekarang guncangan berasal dari sisi rantai pasok dan logistik. Karena beberapa negara membuat kebijakan karantina wilayah dari tingkat lokal sampai nasional, negara-negara ini bukan saja produsen tetapi juga eksportir dan ini berimbas ke negara yang mengimpor sebagian pangannya seperti kita," lanjut Khudori.
Dengan adanya kebijakan pembatasan ekspor dan gangguan dagang yang diberlakukan sejumlah negara produsen pangan, Khudori menyatakan satu-satunya jalan untuk normalisasi pasokan adalah melalui diplomasi antarnegara.
"Sekalipun syarat impor ditiadakan dengan pertimbangan jaminan pasokan dalam negeri yang berkurang, tidak akan terlalu berpengaruh karena sekarang kendala bukan di internal tetapi di eksternal. Dengan kebijakan lockdown tadi, praktis tidak memungkinkan ada pergerakan barang. Aktivitas itu hanya mungkin terjadi kalau melalui diplomasi antara pemerintah," kata Khudori.
Dia menjelaskan bahwa Indonesia dan negara lainnya perlu menggalang kesepakatan bersama untuk menjamin pasokan pangan global tidak terganggu mengingat disrupsi bisa terjadi dari level on farm sampai sampai logistik mengingat tenaga kerja yang berpotensi berkurang akibat pemberlakuan pembatasan sosial.
Dalam situasi saat ini, Khudori kembali menggarisbawahi pentingnya jaminan produksi dalam negeri dan kelancaran logistik ke tingkat konsumen. Rantai pasok harus tetap terjaga agar produksi petani dapat diserap oleh pasar. Pasalnya, produksi yang tak terserap disebut Khudori bakal mengakibatkan petani kehilangan pendapatan.
"Di level produksi harus dijamin tetap berjalan, akses ke input produksi seperti pupuk, benih harus terjamin. Sekalipun produksi terjadi di tengah pandemi, perlu dipastikan protokol tetap berjalan. Jaminan pasar juga perlu, kalau terganggu petani akan kesulitan pembiayaan untuk tanam selanjutnya," katanya.