Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) melihat dalam dua hari menjelang larangan mudik pada 24 April 2020, pemerintah perlu mewaspadai adanya mudik awal (eksodus besar-besaran).
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno mengatakan eksodus tetap berpeluang terjadi menggunakan angkutan umum atau angkutan sewa berpelat hitam. Namun hingga kini batasan jumlah penumpang bagi kendaraan keluar wilayah Jabodetabek belum diterapkan, seperti halnya penerapan PSBB di wilayah Jabodebatek.
"Larangan itu dapat diterapkan mulai sekarang pada semua kendaraan keluar Jabodetabek, kecuali kendaraan logistik dan kendaraan tertentu yang diizinkan," jelasnya, Rabu (22/4/2020).
Selain itu, kata dia, pembatasan larangan mudik tidak hanya dilakukan dari Jakarta ke daerah lain tetapi berlaku juga di seluruh Indonesia.
Djoko menyebutkan kendati asal pemudik terbesar yang termasuk zona merah adalah Jakarta tetapi pelarangan mudik dapat diterapkan berdasarkan batasan wilayah aglomerasi, seperti Jabodetebek, Malang Raya, Bandung Raya, Kedungsepur, Gerbangkertasusila, Banjarbakula, Mebidang, Barlingmascakeb. Hal itu dengan melihat mobilitas penduduk sudah menyebar dalam kawasan aglomerasi.
"Kali ini demi keselamatan kesehatan warga Indonesia, pemerintah harus bertindak tegas. Harus diberikan sanksi hukum bagi yang melanggar mudik tahun ini,"imbuhnya.
Baca Juga
Berdasarkan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, menyatakan, bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dipidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana paling banyak Rp 100 juta
Selain itu Djoko juga berpendapat jika aturan ketat itu bisa menahan laju pemudik yang belum mudik, pemerintah harus menyiapkan kompensasi.
Apabila selama ini ada anggaran mudik gratis untuk pekerja sektor informal, anggaran itu kali ini bisa dialokasikan untuk pengadaan sembako guna membantu masyarakat peserta mudik gratis yang tidak bisa pulang.
Terutama karena melarang mudik memberatkan bagi pengusaha angkutan umum darat (bus antar kota antar provinsi/AKAP, antar jemput antar provinsi/AJAP atau travel, bus pariwisata dan taksi reguler) dan sebagian angkutan perairan.
Pemerintah diharapkan bisa memberikan bantuan insentif dan kompensasi bagi pengusaha dan pekerja transportasinya. Tujuannya, agar tidak ada satupun perusahaan angkutan umum yang gulung tikar nantinya.
Dia mengusulkan dengan merevisi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang memberikan debitur untuk keringanan membayar angsuran dengan plafon hingga Rp10 miliar.
Menurutnya, batasan plafon tersebut sebaiknya dihilangkan saja. Tak hanya itu pengusaha angkutan umum mendapat insentif penundaan pembayaran pinjaman. Juga penundaan membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sementara bagi pekerja transportasi, seperti pengemudi dan kenek mendapatkan kompensasi dari pemerintah sebagai bentuk kehadiran negara melindungi pekerja transportasi. Pekerj dialokasikan mendapat Rp600.000 per bulan selama 3 bulan melalui Kepolisian RI.
Agar data penerima tepat sasaran, para Kasatlantas di Polres sebagai pelaksana terendah dapat bekerjasama dengan Organda Kabupaten/Kota untuk mendapatkan data pengemudi angkutan umum di daerahnya.