Bisnis.com, JAKARTA — Perluasan insentif fiskal yang digelontor oleh pemerintah dinilai belum mampu memberi implikasi nyata terhadap perbaikan ruang finansial yang dibutuhkan pengusaha untuk tidak melakukan gelombang pemutusan hubungan kerja secara masif.
Hari ini, Rabu (22/4/2020), pemerintah kembali memperluas sasaran penerima insentif perpajakan dari 11 sektor menjadi 18 sektor. Anggaran yang disiapkan untuk kucuran insentif baru tersebut bernilai Rp35,5 triliun yang sudah tercakup dalam tambahan belanja pemerintah senilai Rp405,5 triliun dalam APBN 2020.
Adapun, sektor-sektor baru yang diusulkan menjadi penerima insentif tersebut bervariasi mulai dari UMKM, pendidikan, kesehatan, real estat, hingga asuransi.
Sektor-sektor tersebut bakal menerima kemudahan berupa pembebasan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 impor selama 6 bulan, diskon sebesar 30 persen untuk PPh Pasal 25, penanggungan PPh Pasal 21 untuk pajak gaji karyawan, dan percepatan restitusi pajak dengan batas mencapai Rp5 miliar.
Bagaimanapun, perluasan insentif fiskal yang ditujukan untuk mencegah lebih banyak gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pelaku industri tersebut ditanggapi dingin oleh dunia usaha.
Baca Juga
Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi berpendapat penambahan stimulus tersebut belum mampu mengurai permasalahan ruang finansial perusahaan-perusahaan yang terdampak pandemi COVID-19.
“Mau dikasih stimulus seperti apa pun akan susah. [Sebab], produksi anjlok, bagaimana kami mau menggaji pegawai dengan adanya pandemi ini? Apalagi, kita tidak tahu pandemi ini sampai kapan. Kalau tidak produksi, bagaimana mau tidak PHK?” tegasnya saat dihubungi Bisnis.com, Rabu (22/4/2020).
Menurutnya, perusahaan-perusahaan skala menengah dan berorientasi padat karya—seperti sektor pertekstilan, garmen, dan persepatuan—adalah lini-lini yang paling sulit bertahan di tengah pandemi. Untuk itu, keputusan rasional yang mereka tempuh adalah dengan melakukan PHK.
Dengan demikian, Sofjan berpendapat jika pemerintah menginginkan gelombang PHK saat pandemi bisa direm, menggelontor dan memperluas cakupan stimulus perpajakan bagi dunia usaha saja tidak akan cukup.
“Solusinya, pemerintah bisa memberikan [dispensasi] kepada pengusaha yang paling terdampak untuk—setidaknya—bisa menggaji pegawai selama 3 bulan ke depan. Atau, berikan pinjaman kepada perusahaan yang produksinya terhenti untuk bisa tetap menggaji karyawan supaya tidak terjadi PHK. Dikasih bunga pun kami mau, yang penting ada duit masuk dahulu untuk menggaji pekerja.”
Pinjaman tersebut, lanjutnya, sebaiknya menggunakan anggaran pemerintah untuk diberikan secara langsung maupun melalui perbankan. “Sebab, saat ini mana mau bank-bank kasih pinjaman baru ke sektor-sektor yang terdampak ini. Harus ada instruksi langsung dari pemerintah.”
Sekadar catatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per Agustus 2019, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 8,14 juta orang, pekerja paruh waktu 28,41 juta orang, dan pekerja setengah menganggur 8,14 juta orang.
Adapun, jumlah pekerja sektor informal mencapai 71,7 juta atau 56,7 persen dari total tenaga kerja. Sebanyak 89% di antaranya bekerja di unit usaha mikro.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Ishak berpendapat jika pandemi COVID-19 berlangsung lebih lama, jumlah pengangguran pada kuartal II/2020 akan naik signifikan.
Menurut proyeksi Core Indonesia, pengangguran terbuka secara nasional pada kuartal II/2020 akan bertambah 4,25 juta orang untuk sekenario ringan, 6,68 juta orang skenario sedang, dan 9,25 juta orang untuk skenario terburu.
“Penambahan jumlah pengangguran terbuka terjadi terutama di Pulau Jawa, yaitu mencapai 3,4 juta orang dengan skenario ringan, 5,06 juta orang dengan skenario sedang dan 6,94 juta orang dengan skenario berat,” jelas Ishak.
Untuk itu, dia menyarankan dunia usaha dapat mengoptimalkan alternatif mempertahankan pekerjanya alih-alih melakukan PHK. Misalnya, dengan pengurangan jam kerja/hari kerja, pemangkasan jadwal kerja dan lembur, serta pemotongan gaji atau penundaan pembayaran insentif/tunjangan.
“Kepada dunia usaha, pemerintah pun perlu memberi insentif lebih besar seperti penurunan tarif dasar listrik untuk bisnis dan industri, penurunan tarif gas listrik, pemberian diskon tarif pajak, serta penundaan pembayaran cicilan pajak. Namun, dalam menerapkannya, pemerintah harus melibatkan [masukan] pengusaha dan serikat buruh sehingga insentifnya tepat sasaran.”
KEMUSTAHILAN
Saat dibungi terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani menyatakan keputusan untuk tidak melakukan PHK adalah sebuah kemustahilan bagi dunia usaha di tengah pandemi.
“[Upaya] yang bisa kami lakukan sekarang adalah menekan angka PHK agar menjadi serendah mungkin,” tegasnya.
Dengan demikian, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengategorikan industri sektor riil berdasarkan tingkat keparahan dampak ekonomi yang dirasakan akibat pandemi. Pasalnya, tiap sektor memiliki kebutuhan berbeda agar tidak melakukan PHK masif.
Terkait dengan bantuan yang paling mendesak dibutuhkan pengusaha untuk bisa bertahan saat ini, Shinta menekankan pada kepatuhan implementasi restrukturisasi kredit pengusaha sebagaimana termaktub di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang ditetapkan pada 13 Maret.
“Meski sudah ada POJK 11, kenyataannya masih banyak bank yang belum menjalankannya sehingga stimulus kredit ini tidak bisa berjalan sesuai kebutuhan pelaku usaha saat ini. Banyak pengusaha yang tetap ditagih utangnya, meski sudah tidak sanggup membayar. Untuk itu, pelaksanaan stimulus kredit di sektor perbankan harus diperlancar, dipermudah dan dipercepat agar perusahaan bisa terus bertahan dan tidak tutup,” tuturnya.
Adapun, langkah lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah pengusaha melakukan PHK massal adalah dengan meringankan beban-beban biaya korporasi, khususnya pada unit pengeluaran wajib seperti beban listrik, tunjangan hari raya (THR), tagihan BPJS, dan pajak.
“Beban pajak yang sampai sekarang belum ditanggung pemerintah a.l. pajak kendaraan bagi sektor jasa angkutan, pajak sewa bagi sektor properti, mal, dll. Ini perlu untuk saat ini, setidaknya dalam 3—6 bulan ke depan karena perusahaan tidak punya kemampuan finansial yang cukup.”
Menurutnya, apabila kedua instrumen—baik stimulus kredit maupun peringanan beban fixed cost perusahaan—tidak dilakukan secara bersamaan dan cepat, angka PHK dipastikan melonjak tinggi dalam waktu dekat.