Bisnis.com, JAKARTA - Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di wilayah Jabodetabek dinilai masih belum maksimal terutama dari aspek pergerakan manusia. Salah satu penyebabnya adalah sejumlah kebijakan antarkementerian yang tidak harmonis.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan dari sisi transportasi terjadi dualisme peraturan turunan yang terkait PSBB.
"Adanya dualisme peraturan menteri menyebabkan daerah sebagai pelaksana bingung, sehingga untuk sepeda motor bisa membawa penumpang dan untuk ojek online hanya satu, pengemudi saja," jelasnya kepada Bisnis, Minggu (19/4/2020).
Kebijakan ini terangnya, menambah pekerjaan dan tidak efektif bagi para petugas. Sementara bagi lalu lintas jalan, tidak berkurang, karena berganti sepeda motor bisa ditumpangi berdua.
Dia menyebut yang menjadi masalah kini adalah surat edaran dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang masih membolehkan sejumlah industri beroperasi, edaran terkait yakni Surat Edaran (SE) Menteri Perindustrian No. 4/2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik Dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019.
"Jika hari Senin [20/4/2020] pengguna KRL belum berkurang signifikan, berarti SE Menperin jadi biang keroknya," ujarnya.
Baca Juga
Akibat SE Menperin tersebut, banyak pabrik atau industri termasuk 200 industri non-esensial tetap beroperasi. Dengan kondisi seperti ini bagaimana proses PSBB dapat tetap berhasil.
Ambigunya peraturan perundangan pemerintah berakibat semua pihak saling menyalahkan dan membingungkan publik. Di sisi lain, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP), serta kasus yang meninggal terus bertambah di zona merah khususnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun terangnya akan sulit mengenakan sanksi untuk menutup industri jika industri tersebut masih beroperasi karena ada izin dari Menteri Perindustrian. Dengan demikian, KRL Jabodetabek di sektor hilir tidak dapat disalahkan jika sektor hulunya masih beroperasi.
Khusus mengenai aturan Kemenhub dan Kemenkes perbedaan terjadi dalam urusan ojek online (ojol). Menteri Perhubungan Ad Interim Luhut B. Pandjaitan menandatangani Permenhub No. 18/2020, yang mengacu pada dua regulasi, yakni Keputusan Presiden (Keppres) No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Klausul yang menjadi polemik adalah pada Pasal 11 ayat 1 huruf c dan d dalam Bab II soal Pengendalian Transportasi pada Wilayah yang Ditetapkan sebagai PSBB. Pada huruf c tertulis sepeda motor berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang.
Akan tetapi, pada huruf d, disebutkan bahwa dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan.
Protokol kesehatan yang dimaksud antara lain aktivitas lain yang diperbolehkan selama PSBB; melakukan disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan setelah selesai digunakan; menggunakan masker dan sarung tangan; dan tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan di atas normal atau sakit.
Aturan tersebut dianggap sebagian pihak telah berseberangan dengan Permenkes No. 9/2020, yang dijadikan dasar hukum bagi Permenhub No. 18/2020. Dalam pedoman pelaksanaan PSBB disebutkan bahwa layanan ekspedisi barang, termasuk sarana angkutan roda dua berbasis aplikasi dengan batasan hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang.
Permenkes tersebut juga mempunyai dasar hukum, yang biasanya tertulis dalam konsiderans "mengingat" di bagian awal. Dari sembilan poin dasar hukum yang menjadi acuannya, ada dua beleid yang layak disorot, yakni PP No. 21/2020 dan Keppres No. 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang diubah dengan Keppres No. 9/2020.