Bisnis.com, JAKARTA - Sekitar Sabtu (11/4/2020) malam, tim Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan merilis siaran pers soal Peraturan Menteri Perhubungan No. 18/2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Adapun, regulasi tersebut sebenarnya telah disahkan pada 9 April 2020.
Keesokan harinya (12/4/2020), aturan tersebut langsung menuai polemik. Banyak pihak yang mengkritisi, bahkan ada yang meminta agar beleid itu segera dicabut.
Pemerintah juga telah memberikan penjelasan untuk meredam polemik ini, baik dalam bentuk siaran pers hingga konferensi pers secara virtual. Staf Ahli Hukum dan Reformasi Birokrasi Menhub Umar Aris mengklaim bahwa aturan tersebut sudah melalui pembahasan lintas kementerian.
Menurutnya, aturan baru tersebut tidak bertentangan dengan aturan manapun yang sudah hadir sebelumnya. "Tercermin dalam batang tubuh dan baca secara detail, bahwa aturan yang dibuat tidak semata-semata hanya transportasi," katanya, Minggu (12/4/2020).
Selanjutnya, Juru Bicara Kemenko Maritim dan Investasi Jodi Mahardi juga meyakinkan bahwa permenhub sudah diharmonisasikan dengan Permenkes, sehingga tidak ada pertentangan. "Ojol bawa penumpang diperbolehkan selama sesuai protokol kesehatan," ujar Jodi, Minggu (12/4/2020).
Lantas, klausul aturan mana yang menjadi polemik. Bagaimana bisa dua Kementerian sampai membuat peraturan, yang dianggap sebagian pihak, malah bertolak belakang. Mari kita bahas satu per satu.
Baca Juga
Menteri Perhubungan Ad Interim Luhut B. Pandjaitan menandatangani Permenhub No. 18/2020, yang mengacu pada dua regulasi, yakni Keputusan Presiden (Keppres) No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Regulator transportasi tersebut juga mengakui bahwa untuk menekan penyebaran virus corona, perlu dilakukan pembatasan moda transportasi sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 9/2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Sampai di sini harus dipahami, bahwa ada tiga beleid sebagai dasar aturan yang dipakai untuk merumuskan Permenhub.
Klausul yang menjadi polemik adalah pada Pasal 11 ayat 1 huruf c dan d dalam Bab II soal Pengendalian Transportasi pada Wilayah yang Ditetapkan sebagai PSBB. Pada huruf c tertulis sepeda motor berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang.
Akan tetapi, pada huruf d, disebutkan bahwa dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan.
Protokol kesehatan yang dimaksud antara lain aktivitas lain yang diperbolehkan selama PSBB; melakukan disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan setelah selesai digunakan; menggunakan masker dan sarung tangan; dan tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan di atas normal atau sakit.
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Mayestik, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Aturan tersebut dianggap sebagian pihak telah berseberangan dengan Permenkes No. 9/2020, yang dijadikan dasar hukum bagi Permenhub No. 18/2020. Dalam pedoman pelaksanaan PSBB disebutkan bahwa layanan ekspedisi barang, termasuk sarana angkutan roda dua berbasis aplikasi dengan batasan hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang.
Nah, Permenkes tersebut juga mempunyai dasar hukum, yang biasanya tertulis dalam konsiderans "mengingat" di bagian awal. Dari sembilan poin dasar hukum yang menjadi acuannya, ada dua beleid yang layak disorot, yakni PP No. 21/2020 dan Keppres No. 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang diubah dengan Keppres No. 9/2020.
Dari dua dasar hukum tersebut, sebenarnya Kemenkes dan Kemenhub telah menggunakan peraturan pemerintah yang sama yakni PP No. 21/2020. Namun, tidak dengan keppres yang dijadikan acuan, karena Permenhub memakai Keppres No. 11/2020.
Isi dari Keppres No. 11/2020, yang berlaku pada 31 Maret 2020 ini, hanya menetapkan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, sehingga wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Tercatat hanya ada tiga poin ketetapan dalam beleid itu.
Sementara, dalam Keppres No. 9/2020 (dasar hukum Permenkes), mengupas secara mendalam mengenai peran Gugus Tugas. Tujuan pembentukannya adalah untuk menetapkan langkah-langkah cepat, tepat, fokus, terpadu, dan sinergis antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.
Gugus Tugas, yang terdiri atas Pengarah dan Pelaksana, berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Pada Pasal 5 regulasi yang sama, Pengarah bertugas untuk memberikan arahan kepada Pelaksana dan melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan percepatan penanganan Covid-19. Adapun, tugas Pelaksana pada Pasal 6 diantaranya menetapkan dan melaksanakan rencana operasional, melakukan koordinasi dan pengendalian pelaksanaan, hingga melakukan pengawasan.
Pada susunan keanggotaan Gugus Tugas, posisi Menteri Kesehatan adalah sebagai Wakil Ketua Pengarah. Adapun, unsur seluruh kementerian, badan/lembaga, dan TNI/Polri berperan sebagai Pelaksana.
Presiden Joko Widodo (kiri) dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyatakan dua orang WNI positif Covid-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020). Biro Pers Sekretariat Presiden
Dalam kondisi normal, Kemenhub memang memiliki legalitas penuh dan mutlak untuk mengatur seluruh operasional sarana transportasi nasional, termasuk yang berbasis aplikasi. Namun, perlu dicatat bahwa saat ini negara sedang dilanda keadaan kahar (force majeure) pandemi virus corona, sehingga penanganannya juga bisa dilakukan dengan cara yang khusus.
Mungkin, hal itulah yang mendasari Presiden Joko Widodo menjadikan Menteri Kesehatan, di bawah Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sebagai leading sector saat pandemi. Ini diperkuat dengan keistimewaan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan itu, untuk menyetujui ataupun mencabut penetapan PSBB terhadap suatu wilayah seperti diatur dalam PP No. 21/2020.
Selanjutnya, pada Pasal 15 Permenkes No. 9/2020, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan PSBB diatur dalam Pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Adapun, Pedoman tersebut telah dijadikan implementasi dari PP No. 21/2020.