Bisnis.com, JAKARTA - Wabah COVID-19 dikhawatirkan meluas. Berbagai upaya mengatasi wabah ini terus diupayakan. IMF bahkan menyatakan dunia sekarang dalam resesi yang jauh lebih buruk daripada krisis keuangan global 2008. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menyatakan bahwa perekonomian kita akan mengalami kontraksi.
Pemerintah telah mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan COVID-19 sebesar Rp405,1 triliun. Perlu kita sambut baik. Begitu pula kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK No.11/POJK.03/2020 tentang stimulus perekonomian bagi para debitur lembaga keuangan yang terdampak COVID-19, khusus bagi UMKM dengan plafon di bawah Rp10 miliar. Langkah ini perlu diapresiasi.
Ada satu pertanyaan penting saat menghadapi krisis ekonomi: apa sebetulnya yang harus dijaga dan dikelola dengan baik agar perekonomian cepat pulih? Dari pengalaman penulis, sebagai praktisi keuangan yang pernah berpartisipasi di era krisis 1998, jawabannya adalah likuiditas. Saat krisis 1998 tak semua sektor usaha nasional terpukul. Sektor yang paling terimbas saat itu adalah korporasi-korporasi yang melakukan investasi sangat agresif dan bank-bank besar milik konglomerat yang banyak melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Namun masih ada solusi dalam menjaga aliran likuiditas. Likuiditas masih tersedia di pasar global, karena ekonomi negara-negara lain masih cukup kuat. Krisis pun berangsur pulih saat aliran likuiditas keuangan global banyak masuk ke Indonesia. Banyak investor yang membeli korporasi dan bank-bank Indonesia dengan harga murah.
Saat ini kontraksi moneter terjadi secara global. Menurut laporan McKinsey pada 25 Maret lalu, produk domestik bruto negara-negara maju diperkirakan tumbuh negatif. Resesi diperkirakan terus berlangsung hingga tahun depan. Dalam krisis kali ini, sektor jasa yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional sangat terpukul.
Imbauan di rumah saja atau pembatasan sosial berskala besar telah berdampak pada anjloknya bisnis di berbagai sektor industri. Aktivitas perekonomian hampir separuh terhenti dan terjadi di seluruh dunia secara hampir bersamaan. Oleh karena itu, penting dan mendesak untuk mencari solusi bagaimana menjaga aliran likuiditas perusahaan. Ini adalah kata kunci untuk tetap bertahan dan keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Secara sederhana, likuiditas bagi perusahaan diperoleh dari revenue (penjualan) sedangkan bagi perorangan diperoleh jika mempunyai penghasilan. Likuiditas dapat pula ditingkatkan dengan menarik dana cadangan, surplus, deposito atau menjual barang-barang yang tak dibutuhkan atau meminjam dari lembaga keuangan atau dari keluarga dan teman.
Wabah COVID-19 yang semakin lama kian mengancam perekonomian dan secara langsung sangat mengganggu aliran likuiditas karena beberapa hal.
Pertama, penghasilan atau pendapatan baik di sektor perorangan maupun korporasi (UMKM) mengalami penurunan. Kedua, tidak mudah untuk mendapatkan likuiditas dari lembaga keuangan dimana, menurut informasi yang penulis terima, banyak bank-bank yang mengambil kebijakan menghentikan kredit baru. Ketiga, tidak mudah memperoleh likuiditas dari penjualan aset-aset yang dimiliki karena tidak adanya pembeli.
Kebijakan OJK yang memberi stimulus perekonomian agar bank-bank dapat menjaga kualitas aset dan menjaga non-performing loan (NPL) adalah hal yang baik. Begitu pula kebijakan Bank Indonesia terbaru dalam mengatasi dampak COVID-19. Namun, hal yang justru sangat penting dan juga perlu perhatian besar adalah kebijakan terhadap bank-bank dan lembaga keuangan lainnya dalam menjaga aliran likuiditas mereka, terutama likuiditas bank-bank dan lembaga keuangan kecil atau kurang dikelola dengan baik.
Dalam kaitan itu, beberapa langkah perlu segera dilakukan. Pertama, perlu ada review mendalam terhadap bank-bank atau lembaga keuangan lainnya yang akan mengalami kesulitan likuiditas dalam jangka pendek ini, terutama setelah diberlakukannya kebijakan OJK terkait dengan penundaan pembayaran kredit bagi para debitur yang terdampak COVID-19.
Pada saat yang sama, perusahaan besar dan menengah banyak mundur dalam piutang dagang. Alhasil, mereka tidak sanggup membayar utang dagang atau bunga bank, apalagi pokok pinjaman. Bahkan terancam berhenti produksi dan terjadi PHK. Ujung-ujungnya, NPL perbankan melonjak dan bank kesulitan likuiditas.
Bila ditemukan bank-bank atau lembaga keuangan lainnya yang kesulitan likuiditas tapi kinerja keuangan dan manajemen mereka baik dan sehat, perlu dipikirkan stimulus berupa bantuan likuiditas agar mereka tetap menjadi active lender yang menjaga likuiditas ke pasar. Bila kesulitan likuiditas karena terbukti salah kelola maka perlu kebijakan yang memaksa mereka untuk segera konsolidasi dan penyelamatan.
Kedua, perlu dilakukan review terhadap semua reksadana dan produk investasi agar dapat segera diantisipasi jika ada yang berpotensi gagal bayar serta perlu komunikasi yang efektif ke investor untuk menghindari kepanikan di pasar keuangan. Ketiga, perlu segera dilakukan monitoring terhadap obligasi dolar luar negeri oleh korporasi nasional serta review dampak sistemiknya jika ada yang berpotensi gagal bayar.
Keempat, perlu mendorong 10 bank teratas tetap menyalurkan kredit secara selektif. Kelima, aliran likuiditas ke pasar perlu dijaga melalui 10 bank tersebut dengan menyiapkan stimulus bantuan likuiditas bagi mereka agar kredit dapat tetap berjalan dengan bunga yang lebih rendah, baik bunga kredit maupun bunga deposito.
Penulis menyadari hal ini tidak berarti ‘at any cost’. Tentu ada ‘batas perhitungan yang wajar’. Krisis akibat pandemi ini juga perlu dikaji dampaknya terhadap perekonomian secara menyeluruh dengan mengidentifikasi vulnerable spots dalam roda perekonomian nasional.