Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi corona (COVID-19) yang bermula sejak awal 2020 di Wuhan, China, saat ini telah mewabah ke berbagai belahan dunia dan menyebabkan ekonomi global menjadi tertekan.
Ekonom senior Chatib Basri menyampaikan ekonomi Indonesia juga tidak luput dari infeksi pandemi tersebut. Saat krisis finansial 2008, ekonomi Indonesia tidak terhantam begitu kuat, hanya dari sisi permintaan.
Kondisi pada 2008 pun cepat pulih dengan strategi pemerintah yang mendorong konsumsi domestik. Namun, krisis yang saat ini terjadi tidak hanya memukul sisi permintaan, melainkan juga sisi pasokan.
Chatib menjelaskan China merupakan negara pengekspor terbesar di dunia. Jika kegiatan produksi tidak dapat dilakukan, maka akibatnya rantai pasok global menjadi terganggu, dampaknya ke kegiatan ekspor, permintaan, juga investasi.
Oleh karena itu, dia memperkirakan pandemi COVID-19 dalam jangka panjang akan memberikan efek perubahan pada rantai pasok global.
"Dalam jangka panjang, akan ada peruabahan rantai pasok global. Orang akan mulai menyadari tidak bisa menaruh seluruh telur dalam 1 keranjang. China tidak bisa lagi dijadikan sebagai negara produsen terbesar di dunia," katanya, Senin (13/4/2020).
Baca Juga
Chatib menerangkan setelah pandemi COVID-19 usai, negara-negara akan mulai memikirkan untuk tidak lagi mengandalkan China sebagai negara basis produksi sehingga risiko bisa diminimalisir.
Negara global diperkirakan akan mulai mendiversifikasi basis produksi. Hal ini juga menurutnya akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk menjadi negara produsen.
"Indonesia bisa mendapatkan peluang dari hal ini. Sebelumnya ketika saya masih menjadi Chairman of Investment, terjadi banjir di Thailand, Toyota tidak bisa memproduksi. Kami ke Jepang meminta Toyota berproduksi di Indonesia dan mereka setuju karena mau mendiversifikasi risiko saat itu. Jadi, setelah pandemi ini, ada peluang bagi Indonesia," tutur Chatib.