Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut sektor listrik akan masuk ke dalam kategori industri yang akan menikmati harga gas US$6 per Mmbtu sesuai dengan Perarturan Presiden Nomer 40 Tahun 2016. Lantas, seberapa besar pengaruh harga gas terhadap sektor listrik?
Berdasarkan data PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), mengacu pada harga rata-rata gas pembangkit pada tahun lalu pada kisaran US$8,39 per MMbtu, biaya yang dikucurkan PLN untuk konsumsi gas mencapai Rp60,98 triliun. Di sisi lain, kebutuhan subsidi senilai Rp54,79 triliun dan biaya kompensasi senilai Rp34,10 triliun.
Sementara itu, apabila harga gas pada asumsi US$6 per MMbtu, maka konsumsi pemakaian gas yang dikeluarkan PLN hanya sebesar Rp47,95 triliun dan kebutuhan subsidi bisa ditekan menjadi Rp51,50 triliun, sedangkan kompensasi turun menjadi Rp23,79 triliun.
Dengan demikian, mengacu pada asumsi tersebut, dengan harga gas US$6 per MMbtu dapat menghemat biaya penggunaan gas PLN senilai Rp13,03 triliun dan memangkas kebutuhan subsidi senilai Rp3,29 triliun, serta menekan kompensasi Rp10,31 triliun.
Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Djoko Rahardjo mengatakan dengan mendapatkan insentif harga gas, tidak serta merta membuat tarif listrik ke konsumen bisa turun. Pasalnya masih terdapat indikator lainnya yang menentukan tarif listrik.
“Tarif tergantung tiga besaran kurs dolar, ICP dan inflasi,” katanya.
Baca Juga
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat sepanjang harga listrik dikendalikan atau diatur oleh pemerintah, maka PLN bisa mendapatkan harga gas yang diatur juga.
Menurutnya, pemerintah menginginkan harga listrik terkendali, padahal PLN tidak punya kuasa mengendalikan harga energi primer, kecuali pemerintah membebaskan tarif listrik berubah sesuai dengan harga energi primer, maka harga yang khusus tidak perlu diberikan.
“Dalam kondisi hari ini listrik dari gas itu hanya 20 persen tapi menghabiskan 43 persen dari anggaran untuk energi primer,” katanya kepada Bisnis, Rabu (8/4/2020).
Dia mengatakan, hal yang perlu diperhatikan yang perlu diperhatikan dengan memberikan harga khusus yang tidak merefleksikan harga pasar akan mempengaruhi perencanaan pembangkitan PLN.
Fabby menilai mitigasi untuk hal tersebut sangat diperlukan, sehingga perencaan PLN bisa benar-benar mengacu pada pendekatan integrated resource planning.
“Saya menilai kedepan subsidi pada bahan bakar dan pembangkit fossil fuel harus dihilangkan sehingga pembangkit energi terbarukan bisa kompetitif dalam perencanaan pembangkit. Tapi syaratnya adalah harga listrik harus merefleksikan cost recovery,” jelasnya.
Sementara itu, Pakar Energi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Mukhtasor menilai keputusan Menteri ESDM Arifin Tasrif yang menyertakan PLN sebagai penerima manfaat harga gas tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Pasalnya, Kementerian ESDM juga belum memberikan penjelasan yang transparan dan memadai mengenai keekonomian produksi listrik berbahan bakar gas atau PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas).
"Kita tahu umumnya PLTG itu relatif murah. Hal ini benar terutama kalau PLTG dibangun sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional, PP 79/2014, yaitu pengembangan energi dengan mengutamakan sumber daya energi setempat,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (8/4/2020).
Berdasarkan Perpres No 40/2016, selain faktor keekonomian industri pengguna gas, penetapan harga gas bumi untuk industri tertentu harus mempertimbangkan nilai tambah dari pemanfaatan gas di dalam negeri.
Dia menjelaskan, data dari American Petroleum Institute menyebutkan nilai tambah ekonomi gas untuk pembangkit listrik adalah kurang dari 50 persen dibandingkan dengan nilai tambah ekonomi jika gas digunakan untuk industri pertrokimia dan sebagainya.
"Bahkan penggunaan untuk komersial dan domestik masih bernilai tambah ekonomi nasional lebih tinggi. Apalagi masih ada alternatif lain sumber energi listrik selain gas, misalnya panas bumi, air dan lainnya,” jelasnya.
Terkait dengan penetapan PLN sebagai penerima manfaat subsidi harga gas, Mukhtasor menuturkan, industri penerima manfaat sudah diputuskan hanya tujuh sektor.
Sesuai dengan pasal 4 Perpres 40 tahun 2016 disebutkan bahwa jika ada perubahan atau penambahan pengguna gas selain tujuh yang sudah disebutkan secara eksplisit, Menteri ESDM harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
“Artinya industri pengguna gas yang dikenai penetapan harga adalah industri dibawah Kementerian Perindustrian. Apakah pelaku produsen listrik, seperti PLN termasuk sektor yang diurus oleh Kementerian Perindustrian?” ungkapnya.