Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah resmi mengundangkan postur APBN 2020 terbaru pasca penyesuaian dengan kebutuhan pendanaan untuk penanganan COVID-19.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020 yang telah diundangkan pada 3 April.
Sesuai dengan Perppu No. 1/2020, APBN 2020 bisa disesuaikan langsung lewat Perpres tanpa membuat UU baru yang merevisi UU APBN 2020.
Sejalan dengan outlook APBN 2020 yang dipaparkan oleh pemerintah dihadapan Komisi XI DPR RI, pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp1.760,8 triliun dengan belanja negara mencapai Rp2.613,8 triliun.
Defisit anggaran diproyeksikan mencapai Rp852,93 triliun atau 5,07% dari PDB dengan defisit keseimbangan primer mencapai Rp852,9 triliun.
Lewat Perpres ini, Menteri Keuangan memiliki kewenangan yang luas atas belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD), serta pembiayaan anggaran.
Baca Juga
Dari sisi belanja pemerintah pusat, Menteri Keuangan bisa menetapkan pergeseran pagu antaranggaran, perubahan belanja yang bersumber dari PNBP dan penggunaan kas BLU serta pinjaman luar negeri, perubahan kewajiban yang timbul dari penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL), pinjaman tunai, penerbitan SBN, dan kas BLU, hingga realokasi anggaran bunga utang.
Dalam aspek TKDD, Kementerian Keuangan bisa menyesuaikan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Transfer Khusus (DTK), Dana Insentif Daerah (DID), dana desa, hingga memotong dan menunda penyaluran TKDD.
Dari sisi pembiayaan anggaran, Kementerian Keuangan bisa mengubah pagu pemberian pinjaman kepada BUMN dan Pemda karena penambahan pagu pemberian pinjaman karena percepatan atau lanjutan penarikan serta akibat tidak terserapnya pemberian pinjaman pada 2019, mengurangi pagu pemberian pinjaman, hingga mengesahkan pemberian pinjaman luar negeri yang telah closing date.
Dalam rapat kerja secara virtual bersama Komisi XI DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan krisis akibat COVID-19 jauh lebih kompleks dibandingkan dengan krisis 1997-1998 maupun 2008, sehingga perlu langkah extra-ordinary untuk mengantisipasi dampak yang lebih luas.
Sri Mulyani mengatakan dampak COVID-19 akan terasa pada paling besar pada kuartal lI/2020 dan kuartal III baik pada sisi konsumsi, investasi, ekspor dan impor. Namun, pada kuartal lV/2020 diharapkan sudah mulai ada perbaikan.
“Kami bersama OJK, LPS, BI membuat assestment dampak COVID terhadap ekonomi, termasuk dari sisi pertumbuhan dengan skenario baseline kami di level 2,3%,” katanya.
Lebih lanjut, dia menerangkan sejumlah negara sudah mengambil langkah extraordinary lewat dukungan fiskal. Pemerintah Australia, misalnya, untuk menanggulangi COVID-19 menggentorkan stimulus fiskal hingga 11% dari GDP, begitu juga dengan Amerika Serikat yang jumlahnya mencapai 10,5% atau US$2 triliun, Malaysia sebesar 10% dari GDP.
“Indonesia saat ini dihitung dari stimulus I dan II, jumlahnya kira-kira 2,5% dari GDP,” paparnya.