Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pabrikan Baja Minta Keringanan Biaya Listrik

Sebuah pabrikan setidaknya harus memiliki utilitas di atas 40 persen agar tetap bisa membayar beban produksi.
Pekerja pabrik menyusun bagian menara saluran tegangan ekstra tinggi (SUTT) yang baru saja di olah dari baja canai panas (HCR) di pabrik PT Waskita Karya Infrastruktur. Pabrik tersebut memiliki kapasitas produksi bagian menara SUTET 48.000 ton per tahun.
Pekerja pabrik menyusun bagian menara saluran tegangan ekstra tinggi (SUTT) yang baru saja di olah dari baja canai panas (HCR) di pabrik PT Waskita Karya Infrastruktur. Pabrik tersebut memiliki kapasitas produksi bagian menara SUTET 48.000 ton per tahun.

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Iron and Steel Association (IISIA) telah melayangkan surat ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero), Tbk terkait permohonan peniadaan pemakaian energi minimum selama virus corona belum tuntas.

Wakil Ketua Umum IISIA Ismail Mandry meminta kepada dua badan usaha milik negara (BUMN) tersebut untuk meniadakan penggunaan rekening minimum (RM) setidaknya hingga pandemi berakhir atau sekitar 3-4 bulan ke depan.

Adapun, penghitungan RM mengasumsikan pabrikan mengonsumsi minimum listrik selama 40 jam.

"Kalau tidak dipakai, harus tetap bayar sejumlah [40 jam pemakaian]. Itu sangat memberatkan, [sementara] itu [utilitas pabrikan nasional] sudah di 20 persen. Sebagian [besar pabrikan] tidak jalan [proses produksinya]," katanya kepada Bisnis, Kamis (4/2/2020).

Menurutnya, Sebuah pabrikan setidaknya harus memiliki utilitas di atas 40 persen agar tetap bisa membayar beban produksi. Ismail menyatakan sebagian pabrikan masih menjalankan pabrikan walau utilitas di bawah 40 persen untuk menghindari rugi total.

Pasalnya, lanjut Ismail, kondisi gudang industri saat ini sudah penuh lantaran pasar baja nasional susut sekitar 80 persen. Oleh karena itu, ujarnya, sebagian besar pabrikan otomatis memilih mengurangi kapasitas maupun menghentikan produksi.

Ismail menyampaikan pabrikan saat ini sudah merumahkan sebagian besar tenaga kerja dan masih membayarkan beban tenaga kerja.

Namun demikian, lanjutnya, pabrikan akan mengambil jalan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika kondisi pasar tidak membaik hingga akhir semester I/2020.

"Potensi [PHK] besar. Industri baja itu bukan padat karya, tapi padat modal. Begitu tidak ada jalan, beban itu besar sekali," ucapnya.

Ismail mendata saat ini pabrikan peleburan baja menerima tarif listrik sekitar US$8 sen-US$9 sen/kWh. Ismail menyatakan kebijakan diskon 30 persen tarif listrik industri pada tengah malam juga belum akan membantu daya saing billet baja lokal.

"Tarif listrik di luar US$3 sen-US$4 sen/kWh. Karena flat base-nya  sekarang pada 2020 dinaikkna, jadi tidak menaik lagi karena [tarif listrik kompetitif] tidak bisa dicapai. Kenapa tidak diturunkan flat base-nya supaya kami ikut [mendapatkan manfaat]?" ujarnya.

IISIA mendata pabrikan besi dan baja konstruksi (long product) mengonsumsi sekitar 2 miliar kWh listrik per tahun untuk memproduksi 4 juta ton billet baja. Konsumsi listrik tersebut membuat pabrikan baja long product merogoh sekitar Rp2,1 triliun per tahunnya atau sekitar US$7,1 sen kWh.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper