Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyambut positif langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang hendak mensimplifikasi PPN di sektor ritel.
Hanya saja, Aprindo meminta kepada pemerintah untuk melibatkan dunia usaha, tidak hanya akademisi.
"Terkadang pemerintah kalau mengambil kebijakan tidak langsung ke substansi, selain akademisi, kami pelaku usaha juga ingin dilibatkan," kata Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey, Minggu (15/3/2020).
Terkait rencana simplifikasi PPN pada sektor ritel tersebut, Roy berargumen memang sistem PPN pada sektor ritel perlu dibuat lebih simpel karena sifat sektor ritel yang multidistribusi dan multiproduk.
Dalam suatu usaha ritel, pengusaha menjual banyak produk mulai dari barang dikenai PPN atau barang kena pajak (BKP) hingga yang secara ketentuan pajak tidak dikenai PPN, baik itu dibebaskan ataupun tidak terutang PPN.
Roy mengatakan dirinya beberapa kali menerima keluhan dari anggota mengenai sistem pengenaan PPN di sektor ritel yang rumit.
Baca Juga
Khusus untuk ritel yang tercatat di bursa efek, permasalahan pun semakin kompleks karena perusahaan harus membuat laporan keuangan secara periodik dan di satu sisi juga perlu melaporkan dan membayarkan PPN Masa setiap bulannya.
"Anggota sudah suarakan untuk relaksasi nilai PPN ini, dengan ritel yang multiproduk ini kalau mau PPN Final ya PPN Final saja," ujar Roy.
Sebelumnya, pihak DJP mengatakan akan mensimplifikasi pengenaan PPN pada sektor ritel. Meski demikian, Direktur Peraturan Perpajakan I Arif Yanuar mengatakan belum ada keputusan khusus mengenai hal tersebut dan potensi skema simplifikasi pengenaan PPN masih terbuka lebar.
"Untuk ritel itu potensinya ada alternatif penyederhanaan untuk sektor yang itemized-nya banyak. Ini lebih terkait ke penyederhanaan PPN," ujar Arif, Minggu (5/3/2020).
Arif mengatakan pihaknya bersama dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pihaknya sedang mempertimbangkan penggunaan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain sebagai alternatif pengenaan PPN pada sektor ritel.
Sebagai perbandingan, penyerahan emas perhiasan sudah menggunakan penyerahan PPN dengan DPP Nilai Lain terhitung sejak Maret 2014 dengan diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 30/2014.
Dalam PMK tersebut, pengusaha emas perhiasan yang meliputi pabrikan dan pedagang harus memungut PPN sebesar 10 persen dari DPP Nilai Lain.
Adapun, DPP Nilai Lain yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah 20% dari harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian.
Pajak masukan yang berhubungan dengan penyerahan emas perhiasan atau jasa yang terkait dengan emas perhiasan tidak dapat dikreditkan oleh pengusaha emas perhiasan.
Pengusaha emas perhiasan wajib melaporkan usahannya ke kantor pelayanan pajak (KPP) untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Dengan ini, pengusaha emas perhiasan emas yang telah dikukuhkan sebagai PKP wajib membuat faktur pajak atas penyerahan emas perhiasan ataupun jasa yang terkait dengan emas perhiasan.