Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Rilis Stimulus Corona Jilid II, Ritel Modern Merasa Ditinggalkan

Para pengusaha ritel modern merasa pemerintah tidak memperhatikan ritel modern yang juga terdampak negatif oleh mewabahnya virus corona.
Suasana di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Suasana di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Para pengusaha ritel modern meminta pemerintah memberlakukan insentif serupa yang diberikan kepada industri manufaktur kepada pelaku usaha ritel modern.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey mengatakan bahwa ritel modern termasuk sebagai industri yang terdampak negatif oleh wabah corona.

Menurutnya, sejumlah ritel modern non-pangan telah mengalami tekanan yang cukup dalam akibat merebaknya virus corona di Indonesia. Meningkatnya kekhawatiran warga terhadap penularan virus corona membuat kunjungan ke ritel modern nonpangan, seperti ritel fesyen dan peralatan rumah tangga turun drastis.

“Beberapa dari pelaku ritel modern nonpangan sudah galau. Karena mereka kesulitan menjual barang karena kunjungan masyarakat turun, sementara mereka harus tetap menggaji karyawannya dan membayar biaya operasional,” katanya kepada Bisnis, Jumat (13/3/2020).

Untuk itu lanjutnya, pemerintah perlu memberikan insentif dan stimulus kepada peritel modern. Terlebih rata-rata peritel modern memiliki tenaga kerja di atas 300 orang. Sementara itu dari sisi persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi rata-rata di atas 40 persen.

Dengan demikian, menurutnya, industri ritel modern sejatinya masuk dalam daftar industri padat karya seperti tertera dalam Peraturan Menteri Perindustrian No.51/2013 tentang Defisnisi dan Batasan Serta Klasifikasi Industri Padat Karya Tertentu.

Dalam pasal 1 beleid tersebut industri padat karya tertentu adalah industri yang memiliki tenaga kerja paling sedikit 200 orang dan memiliki persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15 persen.

“Untuk itu kami minta supaya kami diberikan insentif fiskal setara dengan yang diberikan ke industri manufaktur seperti pemotongan pajak PPh pasal 21, serta penangguhan PPh pasal 22 dan 25 selama 6 bulan. Kalaupun ritel belum masuk daftar penerima insentif, seharusnya bisa disusulkan,” katanya.

Selain kebijakan insentif fiskal, pemerintah diharapkannya memberikan insentif pengurangan biaya operasional kepada ritel modern antara lain diskon tarif listrik maupun pemotongan retribusi dan pajak daerah.

“Kami peritel di sisi hilir ini juga penting diperhatikan. Kalau industri hulu diberikan insentif, tapi yang hilir tidak diberikan insentif, dampak kebijakan pemerintah bakal terbatas. Ketika hulu bisa memproduksi, tapi kami di hilir tidak bisa menjual dengan lancar, tentu pengusaha di hulu juga terdampak,”tegasnya.

Dia memperkirakan, apabila pemerintah tidak turut memberikan insentif kepada peritel modern, maka dia memproyeksikan pertumbuhan industri ritel modern akan terkontraksi tahun ini dari tahun lalu. Dia memprediksi pertumbuha industri ritel modern maksimal hanya akan mencapai 7 persen, lebih rendah dari capaian 2019 sebesar 8,5 persen.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper