Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah perlu mewaspadai potensi bocornya produk-produk yang mendapat kelonggaran lartas ke pasar yang tak menjadi sasaran stimulus. Dalam hal ini, produk besi dan baja menjadi kelompok komoditas yang paling rentan masuk ke luar industri manufaktur penerima stimulus.
Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal mengemukakan kebocoran ini pernah terjadi pada 2018 silam ketika pemerintah melonggarkan lartas pada besi dan baja dengan kode harmonized system (HS) tertentu. Lantaran kondisinya yang rentan menjadi objek pengalihan HS, Faisal mengatakan produk yang tak mendapat kelonggaran justru turut masuk ke sektor-sektor yang tak mendapat kelongaran.
"Di produk baja antara satu kode HS dan lainnya perbedaan sangat tipis, hal ini amat rawan untuk penyelundupan atau pengalihan kode HS. Kita banyak kecolongan pada 2018 lalu. Kalau kontrol di pelabuhan dilepas, justru banyak barang yang dibutuhkan industri manufaktur justru bocor ke sektor lain, seperti ke infrastruktur misalnya," kata Faisal, Jumat (13/3/2020).
Faisal menilai upaya kontrol dengan memberlakukan kemudahan impor hanya kepada importir bereputasi bisa menjadi solusi.
Dalam paket kebijakan terbaru pun pemerintah menerapkannya percepatan impor dan ekspor pada 626 traders mitra kepabeanan dan 109 perusahaan berstatus Authorized Economic Operator (AEO).
Lebih lanjut, Faisal pun mengharapkan penyertaan stimulus ini dapat diikuti pula dengan pembenahan rantai pasok dalam negeri sehingga Indonesia bisa mengantisipasi gangguan eksternal.
Baca Juga
Menurutnya, selama ini Indonesia amat tergantung dengan bahan baku dan penolong asal China sehingga amat terpukul ketika terdapat gangguan.
Terkait jaminan bahan baku dari pemasok alternatif, dia pun menilai kebijakan fiskal yang meliputi relaksasi pada PPh 21, 22, dan 25 bisa menjadi bantalan dan kompensasi akan biaya produksi yang berpotensi lebih tinggi.
Sementara itu, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi mengemukakan bahwa jaminan pasokan dari negara alternatif pun tetap bakal mempertimbangkan kondisi harga dan kecocokan karakteristik bagi industri.
"Kalau ada ketersediaan tapi mendatangkannya terdapat harga yang lebih besar, ya sama saja. Kami pelaku usaha punya pertimbangan bisnis. Pindah ke lain tempat tak semudah membalikkan tangan. Perlu kesuaian dan negosiasi. Tanpa intervensi pemerintah, kalau ada kesamaan karakteristik dengan transaksi pasti akan beralih ke pemasok lain. Kecuali terikat kontrak," ujarnya.